01 April 2011


IBNU KHALDUN

I.             PENDAHULUAN
Perkembangan pemikiran filsafat dari awal munculnya pemikiran filsafat sampai pada munculnya pemikiran filsafat kontemporer, telah melahirkan banyak para phylosof. Dari para phylosof tersebut muncul berbagai macan teori serta konsep-konsep tentang semua yang ada. Setiap tokoh filsafat dengan tokoh filsafat yang lain memiliki garis besar pemikiran serta sifat khas yang membedakan dengan tokoh filsafat lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang serta keragaman cara penafsiran terhadap sesuatu yang ada di alam ini. Perbedaan ini dalam dunia filsafat sangatlah wajar karena kebenaran yang hakiki hanya milik Yang Kuasa.
Pada masa pertengahan atau saat setelah kepergian Ibnu Rusyd perkembangan filsafat islam oleh sebagian orang dikatakan meredup. Namun sebenarnya pada masa pertengahan ini ada tokoh filsafat Islam yang justru nanti akan memberi pengaruh besar terhadap masyarakat Islam serta masyarakat dunia pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh munculnya pemikiran filsafat Ibnu Khaldun yang tertuang dalam kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-Sulthan al-Akbar (disingkat al-‘Ibar) yang berisi tentang berbagai macam pemikiran filsafatnya. Namun hal yang paling dikenal adalah bagian Muqaddimahnya yang berisi tentang persoalan-persoalan sosial. Dan dalam makalah ini nantinya akan dijelaskan sedikit tentang pemikiran filsafat Ibnu Khaldun.

II.           KEHIDUPAN, KARYA DAN GARIS BESAR PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
A.       Kehidupan Ibnu Khaldun
Beliau memiliki nama lengkap Waliyuddin ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn al-Hasan ibn Khaldun. Beliau lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau 27 Mei 1332. Beliau wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H atau 19 Maret 1406 M.[1]
Seperti halnya kebiasaan pada waktu itu, ayahnya adalah guru pertamanya, dan mempelajari bahasa pada sejumlah guru, yang terpenting ialah Abu Abdillah Muhammad ibn al-Arabi al-Hashayiri dan abu abdillah Muhammad ibn Bahr, ia mempelajari Fiqh, dan ilmu ilmu lainnya seperti Filsafat, Teologi, Logika, ilmu alam, Matematika, Astronomi.[2]
Setelah berusia 20 tahun ia beralih kedalam kencah politik, yang penuh pergolakan yang mewarnai Maghrib ketika itu, dan diangkat menjadi anggota majlis ilmu pengetahuan dan menjabat “kitabah” di maghrib oleh Abu Inan yang menjadi raja pada waktu itu, karena kedekatan antara keduanya. Lalu ia pindah ke kota kairo, dan mengajar di masjid Al-azhar, karena ia pandai dalam mendekati penguasa, maka ia diangkat menjadi pengajar di perguruan al-Qamhiah, dan kemudian diangkat menjadi hakim agung mahzab malikiyah, dan ia memangku jabatan ini sebanyak tiga kali sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di kairo Ibnu Khaldun meninggal dunia pada usia tujuh puluh empat tahun, selama 24 tahun dimesir ia merivisi karya besarnya al-‘ibar, dan memperluas penjelasannya, maka bila diklasifikasikan, fase kehidupannya terbagi dalam 4 fase yaitu :
1.      Fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran  hingga berusia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/1332 M hingga tahun 751 H/1350 M. Fase ini dilaluinya di tunis.
2.      Fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghrib dan Andalusia, yaitu dari tahun 751 H/1350 M sampai tahun 776 H/1374 M.
3.      Fase kepengaranagan, ketika dia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibn Salamah milik Banu Arif, yaitu sejak 776 H/1374 M sampai 784 H/1382 M.
4.      Fase dalam mengajar dan bertugas sebagai Hakim Negeri di Mesir, yaitu dari tahun 784 H/1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/1406 M.[3]
B.        Karya-karya Ibnu Khaldun
1.      Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya. Pada bagian berisi enam bab, dan dari setiap bab tersebut memiliki bagian-bagian tersendiri. Yang mana pokok pembahasannya berkisar pada permasalahan sosial kemasayrakatan. Misalnya pemerintahan, keadaan poloitik suatu negara, keadaan suku yang mendiami suatu tempat (suku pedalaman baduwi), masyarakat perkotaan, serta masih banyak lagi.[4]
2.       Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
3.      Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.[5]
C.       Garis Besar Pemikiran Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun dikenal baik di dunia timur maupun di dunia barat karena karyanya yaitu kitab al-‘Ibar terutama pada bagian muqaddimahnya. Ibnu Khaldun menerangkan dalam muqaddimahnya tentang gejala-gejala sosial yang ada di masyarakat. Dalam bagian ini pula pembaca akan mendapatkan definisi yang mengagumkan tentang sejarah, bahwa ia: ”pada sisi eksternalnya (zhahir) tidak lebih dari penginformasian mengenai peperangan, negara-negara dan masyarakat pada masa silam, tetapi pada sisi internalnya (batin) merupakan observasi, analisis dan kajian secara cermat terhadap prinsip-prinsip semesta dan sebab-sebab yangmendasarinya. Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya secara mendalam.[6]
Ibnu Khaldun dikenal pula sebagai tokoh pertama penggagas filsafat sejarah. Beliau menyatakan bahwa di dalam karya-karya sejarah itu banyak sekali terdapat kekeliruan, ketergelinciran dan kesalahan. Dalam muqaddimahnya pula Ibnu Khaldun memaparkan syarat-syarat seorang sejarawan, serta sebab-sebab kesalahan dalam penulisan sejarah oleh para sejarawan terdahulu. Ibnu Khaldun membagi sejarah ke dalam dua aspek: aspek lahir dan aspek batin. Secara lahir, sejarah tidak lebih daripada berita-berita tentang peristiwa-peristiwa, negara-negara dan kejadian-kejadian pada abad-abad yang silam. Dari pernyataan tersebut Zaynab al-Kuhadhayri menyatakan, kalau aspek lahir adalah sejarah dalam pengertian umum, maka aspek batinnya adalah salah satu cabang dari hikmah atau filsafat, sebab ia mengkaji berbagai sebab peristiwa dan hukum-hukum yang mengendalikannya.[7]
Konsepsi tentang asal-usul suatu negara tidak terlepas dari yang namanya tabiat khusus manusia. Dari proses berfikir tentang pertahanan suatu kelompok terhadap serangan kelompok laim, memuculkan sosok yang mempunyai kekuatan dan wibawa. Sehingga kelompok lain tidak dapat menyerang kelompok tersebut. Inilah yang dinamakan kekuasaan otoritas. Para filosof berusaha memberikan dalil yang logis tentang adanya nubuwwah (satu watak khusus dari manusia). Akan tetapi penetapan para filosof ini terlihat tidak logis karena ujud (existensi) dan penghidupan manusia itu dapat juga tanpa adanya nubuwwah, yaitu melalui peraturan-peraturan yang di buat oleh seseorang yang berkuasa sesukanya atau dengan bantuan dari suatu ras golongan.[8]

III.        PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU KHALDUN
A.     Sosiologi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun menjadi kiblat penelitian sosial bagi para peneliti sosial barat, hal ini terjadi karena ditemukannya muqaddimah pada abad ke19 dan diterjemahkan kedalam bahasa eropa, yang ketika itu sedang menggandrungi sosiologi, maka perhatian sejumlah ilmuan barat terarah kepada segi segi yang sama antara masalah yang diutarakan dan dibahas mereka dan masalah yang dikemukakan Ibnu Khaldun.
Sebagaimana diketahui ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam muqaddimahnya yang terdiri dari enam bab, ia mengkaji “realitas realitas al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomene fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi.[9] Sebagaimana perkataannya dalam muqaddimah “Ketahuilah bahwa sejarah adalah catatan tentang masyarakat ummah manusia atau kebudayaan dunia, tentang perubahan perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti keprimitifan, keramahtamahan, dan solidaritas kelompok; tentang revolusi revolusi dan pemberontakan pemberontakan oleh sekelompok masyarakat melawan sekelompok masyarakat yang lain, yang berakibat timbulnya kekuasaan kekuasaan baru dengan berbagai macam peringkatnya; tentang macam macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai penghidupannya maupun dalam bermacam macam cabang ilmu pengetahuan dan keahlian dan pada umumnya tentang segala perubahan yang terjadi dalam masyarakat kerena watak masyarakat itu sendiri.
Adapun metode yang ia gunakan dalam mengkaji fenomena fenomena sosial adalah metoda yang ilmiah, karena dalam mengkaji bidang ini (fenomena) sosial ia selalu bertanya “mengapa” dan ia jawab pertanyaan ini dengan ungkapan ungkapan yang dimulai dengan “sebabnya ialah” atau “hal ini terjadi karena”, pertanyaan itulah yang membentuk sosiologi dan metode yang digunakan adalah bercorak experimental.[10] Dan yang lebih fenomenal adalah perkataan N.Schmidt, dalam karyanya Ibnu Khaldun : Historian, Sosiologist, and Philosopher “ ia adalah seorang pemikir seperti halnya Comte, Thomas Mann, dan Spencer, ia mengemukakan sosiologi yang lebih maju sampai kebatas yang tidak dapat dicapai Comte sendiri pada penggal pertama ke19, andaikata para pemikir yang telah menyusun kembali sosiologi menelaah muqaddimah Ibnu Khaldun dan menimba kenyataan kenyataan yang telah ia singkapkan dan jalan yang telah ditemukan si jenius arab itu pada masa jauh sebelum mereka, niscaya mereka akan mempu mengemukakan ilmu baru ini lebih cepat.[11] 
B.     Ekonomi dalam pandangan Ibnu Khaldun
Fokus kajian Ibnu Khaldun adalah manusia maka ia berpendapat bahwa antara satu fenomena sosial dengan fenomena lainnya saling berkaitan, dan fenomena ekonomi memainkan peranan yang penting dalam perkembangan kebudayaan dan mempunyai dampak yang besar atas eksistensi negara dan juga ia memandang faktor ekonomi sebagai faktor yang terpenting dalam pergerakan sejarah.
Ibnu Khaldun telah mengkhususkan di dalam muqoddimahnya dalam bab ke lima dalam kajian “Penghidupan dengan berbagai segi pendapatan dan kegiatan ekonomis, dia juga mengkhususkan dalam kajian aspek-aspek ekonomis.[12] Ibnu Khaldun berpendapat : “Perbedaan sosial diantara masyarakat timbul karena perbedaan aspek kegiatan produksi mereka” dan pendapatnya yang lain yang terdapat dalam muqaddimah yang menerangkan pentingnya aspek ekonomi. Maka jelaslah pendapat Ibnu Kholdun dalam hal ini bahwa aspek ekonomilah yang menentukan watak kehidupan sosial dan faktor ekonomi berperan penting dalam menginterpretasikan sejarah.
Diantara hukum hukum yang mengendalikan perkembangan ekonomi menurut Ibnu Khaldun adalah :
a.      Hukum pembagian kerja
Dimana bahwa manusia sebagai individu, mengakui akan kelemahannya dan harus bekerja sama dalam menanggung beban hidupnya, maka jelaslah bahwa faktor utama yang membuat manusia mampu dalam menanggung kehidupan sosial adalah kerja sama ekonomis.
b.      Teori nilai
Dikemukkan dalam muqaddimahnya dengan salah satu judulnya “Bahwa realitas rezeki dan pendapatan dan uraian tentang keduanya serta pendapatan adalah nilai kerja manusia”: “Oleh karena itu keuntungan hanya dapat diperoleh dengan usaha dan kerja”.
c.       Teori Harga
Penawaran dan permintaan, jadi bilamana permintaan meningkat, harga pun akan meningkat pula. Dan jika permintaan menurun maka harga pun akan menurun pula.
d.      Faktor faktor produksi
Faktor produksi yang selalu ada adalah alam, pekerjaan, dan modal yang terbentuk dari dua faktor sebelumnya, dan urutan ketiga dari faktor ini selalu berubah rubah dari masa kemasa.
C.     Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury). Pendapat ini mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Manusia dalam mempertahankan hidupnya membutuhkan bantuan dari orang lain.
Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan.
Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana. Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula.
Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ . Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.[13]
D.    Khilafah, Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah. Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan diatas.
E.     Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3:
1.      Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
2.      Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
3.      Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian.
F.      Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1.      Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2.      Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3.      Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4.      Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5.      Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun seperti yang ada di atas  memunculkan tiga generasi, yaitu:
1.      Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2.       Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3.      Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.[14]






IV.         KESIMPULAN
1.      Sosiologi Ibnu Khaldun
Sebagaimana diketahui ia adalah pengasas sosiologi, karena dalam muqaddimahnya yang terdiri dari enam bab, ia mengkaji “realitas realitas al-‘umranal-basyari” atau keadaan kemasyarakatan manusia, yang mana keadaan tersebut dinamakan “fenomene fenomena sosial”, dan inilah yang merupakan objek pembahasan sosiologi.
2.      Ekonomi dalam pandangan Ibnu Khaldun
Hukum hukum yang mengendalikan perkembangan ekonomi menurut Ibnu Khaldun adalah:
a.      Hukum pembagian kerja
b.      Teori nilai
c.       Teori Harga
d.      Faktor faktor produksi
3.      Asal Mula Negara (daula)
Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Pemimpin/pengendali  didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).
4.      Khilafah, Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibnu Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat.
a.       Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah),
b.      Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah),
c.       Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah),




V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, tentunya masih banyak kekurangan. Oleh karena penulis mengharap saran dan kritik yang konstruktif demi perbaikan pada pembuatan selanjutnya. Terima kasih atas segala kritik dan sarannya. Mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan kita semua. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yusri Abdul Ghani.2004.Historiografi Islam : dari Klasik Hingga Modern.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Amien, Miska Muhammad.1983.Epistemologi Islam Pengantar filsafat Pengetahuan Islam.Depok:UI Press.
B.D, Edward R. Jones.Tanpa tahun.The History Of Philosophy In Islam.New York:Dover publications, Inc.
Dasoeki, Thawil Akhyar.1993.Sebuah Kompilasi Filsafat Islam.Semarang:Dina Utama Semarang.
Raliby, Osman.1978.Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara.Jakarta:Bulan Bintang.
Syarí, Ahmad.2005.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:Pustaka Firdaus.
Sanusy, Luthfi Yansyah El. Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan).Lihat, http://www.scribd.com/doc/12831325/Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-Karl-Marx-Sebuah-Per-Banding-An. di akses tanggal 30 November 2010.
Teori Siklus Ibnu Khaldun, lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Siklus_Ibn_Khaldun. di akses tanggal 30 Nopember 2010.
Yatim, Badri.1997.Historiografi Islam.Jakarta:Logos Wacana Ilmu.


[1] Badri, Yatim. Historiografi Islam.(Jakarta:Logos Wacana Ilmu.1997). hlm. 139
[2] Ahmad Yarí.Filsafat Pendidikan Islam.(Jakarta:Pustaka Firdaus.2005). hlm. 104
[3] Ibid, hlm.140
[4] Thawil Akhyar Dasoeki.Sebuah Kompilasi Filsafat Islam.(Semarang:Dina Utama Semarang.1993).hlm. 97-98.
[5] Op.Cit, Badri Yatim.hlm. 144
[6] Yusri Abdul Ghani Abdullah.Historiografi Islam dari Klasik Hingga Modern.(Jakarta:Raja Grafindo Persada.2004). hlm. 65-66
[7] Op.Cit, Badri Yatim. hlm. 144-152
[8] Osma Raliby.Ibnu Khaldun tentang Masyarakat da Negara.(Jakarta:Bulan Bintang.1962). hlm. 140-142.
[9] Op.Cit. Thawil Akhyar Dasoeki. hlm. 98
[10] Op.Cit. Yusri Abdul Ghani Abdullah. hlm. 67
[11] Sanusy, Luthfi Yansyah El. Pemikiran Sosiologi Ibnu Khaldun dan Karl Marx (Sebuah Perbarbandingan).Lihat, http://www.scribd.com/doc/12831325/Pemikiran-Sosiologi-Ibnu-Khaldun-Dan-Karl-Marx-Sebuah-Per-Banding-An. di akses tanggal 30 November 2010.
[12] Op.Cit. Thawil Akhyar Dasoeki. hlm. 98
[13] Op.Cit. Osman Raliby. hlm. 140-142
[14]Teori Siklus Ibnu Khaldun, lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Siklus_Ibn_Khaldun. di akses tanggal 30 Nopember 2010.


Welcome

Selamat Datang,
Selamat berkunjung di webblog milik Saifudin Elf, sebuah catatan sederhana dari sebuah proses dinamika berfikir, merangkai, dan menyusun kata.
"tak ada sejarah yang terukir tanpa tulisan, tak ada dokumentasi seindah lukisan Tuhan"
dengan motto tersebut, ku coba untuk menuangkan segala hasil pemikiran, jejak kaki, dan perjalanan hidup melalui webblog sederhana ini.
Kritik dan saran sangat saya harapkan,
Kritik dan saran Hubungi :
Saifudin ELF SMS/Call : 085740951321
Email : iffudz.saifudin@gmail.com
Twitter : @saifudinelf
Best Regard,
-saifudin elf-

Categories

Powered by Blogger.

Followers

Visitor


Blog Archive

Contact us

Name

Email *

Message *

Business

Instagram