Cukup
Aku Saja
Oleh;
Saifudin elf
Tia, tak kuasa menahan air matanya berlinang membasahi
kedua pipinya yang masih memerah karena tamparan Nino, pacarnya. Setelah Nino
mengetahui, pacarnya menjadi pesolek hanya gara-gara profesi pemandu karaoke
yang ia geluti. Hidupnya berputar 180 derajat. Pukulan telak bagi Tia, di saat
semua orang dekatnya satu persatu menjauhinya. Kini Nino, orang yang selama ini
menjadi sandarannya melalui kehidupan ini tiba-tiba menampakkan kemarahan yang
luar biasa kepadanya.
“Tuhan, aku tak kuasa menahan semua ini. Tak ada yang
bisa mengerti diriku selain diriMu” pekiknya dalam hati.
Suara kendaraan bermotor masih saja menyembul
mengeluarkan suara bisingnya di tengah malam. Malam dimana Tuhan menggariskan sebuah
pertemuannya dengan lelaki bertubuh gempal itu. Dia masih saja sibuk dengan
pekerjaannya, menemani para pengunjung di tempat ia setiap hari bekerja. Yah,
tempat itu adalah “ESC” family karaoke. Tempat karaoke yang sudah
terkenal di kota Semarang. Dengan lincah ia memerankan perannya sebagai pemandu
karaoke.
“Mau mutar lagu yang mana mas? Pop, dangdung, atau
mungkin bollywod?”
“Lagu yang dangdut saja mbak, kalao bisa yang sedikit koplo”
Dibalik senyum manisnya, tersimpan berjuta derita yang
tak semua orang bisa merasakannya. Di tengah perjalanan hidupnya, ia menjadi
sosok yang tegar. Takdir telah membawanya menjadi pribadi pekerja keras.
Apalagi sejak ia ditinggal oleh kedua orang tuanya karena sebuah perceraian
yang tragis itu. Sejak saat itu kedua orangtuanya pergi entah kemana. Beruntung,
Roni pamannya membawa Tia untuk ikut tinggal bersamanya. Lelaki paruh baya yang
sehari-harinya bekerja sebagai supir angkot jurusan Mangkang-penggaron kini
menjadi orang tuanya yang mengucurkan kasih saying kepadanya. Walaupun bukan
kasih sayang sebagai orangtua kandung. Namun, setidaknya kasih saying yang
begitu tulus.
Sejak awal, ketika Tia memutuskan untuk menjadi
pemandu karaoke (PK). Sebenarnya Tia sudah mengerti akan stigma buruk yang
kerap orang-orang lancarkan kepada setiap PK yang ia temui. Akan tetapi, nasib
berkata lain. Nasib yang membawa Tia menggeluti profesi PK tersebut. Bukan
tanpa maksud Tia memilih menjadi seorang PK. Tia ingin melihat pamannya Roni,
bahagia melihat keponakannya bisa berkarya lagi, setelah sempat berhenti pasca
ditinggal oleh kedua orangtuanya.
Bukan kesenangan semata yang ia cari dari sebuah
pekerjaan PK. Ia pun tak ingin menjadi seorang PK kebanyakan. PK yang sering
mencari pekerjaan sampingan. Melayani godaan para lelaki hidung belang. Bagi
Tia, pekerjaan dia yang sekarang bukan pekerjaan yang murahan seperti itu.
Sebenarnya bukan karena pekerjaan PK nya yang menjadi penyebab stigma buruk
masyarakat tentang PK. Namun, tak lain adalah karena profesi sampingan dari
para PK tersebut, yang sering melayani godaan para lelaki hidung belang. Tia, tahu
fakta tersebut. Apa daya seorang Tia, yang hanya seorang PK pendatang baru.
Lemah tak berdaya melihat kenyataan yang sedemikian rupa.
Sementara di luar sana, rintik-rintik gerimis masih
terus saja turun. Membasahi jalan-jalan protokol kota Semarang. Tia hanya bisa
melihat gerimis tersebut dari balik kaca pada sebuah ruangan di “ESC” family
karaoke. Dalam lamunannya Tia merasakan ada yang aneh dengan perasaannya malam
itu. Seperti ada sesuatu yang akan menimpanya. Tapi karena dasarannya Tia yang
cuek, perasaan itu lenyap seketika, saat Tia beranjank dari tempatnya.
Tak berselang lama, suara motor yang terdengar sedikit
nyaring masuk ke dalam area parkir. Lelaki berperawakan sedikit gemuk, dengan
postur yang sedikit menjulang tinggi keluar dari area parkir. Jaket kulit yang
masik sedikit basah, menandakan bahwak ia baru saja menerobos gerimis yang
sejak sore belum juga reda. Setelah jaket yang ia kenakan dilepas, ia segera
masuk ke dalam untuk memesan sebuah ruang karaoke.
Ruang karaoke bertipe small tepa berada disudut
ruangan menjadi pilihannay malam itu. Tak lupa lelaki tersebut juga meminta
manajemen untuk menyediakan seorang PK. Kebetulan saat itu Tia sedang kosong.
Akhirnya Tia lah yang menjadi pemandu lelaki tersebut untuk berkaraoke.
“Sudah lama kerja di sini mbak?”
“Baru kok mas, paling baru 2 bulan”
“Oh, kirain udah lama mbak. Pantas saja saya baru
melihat mbaknya. Seingatku udah hampir 2 bulan lebih saya tidak ke tempat ini”
“Iya mas, berarti dulu mas pelanggan di sini yah mas”
“Dulu, sih iya. Hampir tiap malam minggu saya pasti
datang kesini. Namun, sejak kedua orangtua saya bercerai hari-hari saya jadi
semakin murung. Seperti tak ada semangat lagi buat jalani hidup ini mbak”
“Maaf ya mas, jika pertanyaan saya justru akan membuat
mas harus mengingat masa lalu mas. Maaf sekali lagi mas”
“Santai sajalah mbak, yang terjadi biarlah terjadi.
Toh, nyatanya saya bisa bertahan sampai detik ini. Tak lain karena keyakinan
saya, bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi”
Gelak tawa mewarnai pertemuan, sang PK dengan lelaki
bertubuh gemuk tersebut. Bukan karena apa-apa, mungkin juga karena nasib yang
hampir sama. Sama-sama menjadi anak korban perceraian kedua orangtuanya.
“Oh, ya mas. Mau mutar lagu yang seperti apa mas?
Dangdut, pop, barat, atau bahkan bollywood?” Tanya Tia kepada lelaki
tersebut yang masih terlihat dalam kondisi tertawa.
“Santai sajalah mbak, saya masih alam di sini kok
mbak. Selain itu kan kita belum kenalan. Tak kenal maka tak sayang” ledeknya
pada si Tia, yang kemudiang disambung dengan gelak tawa yang semakin heboh.
“Wah, masnya bisa saja. Oh iya mas, nama saya Cintya
Rahayu. Tapi mas bisa panggil saya Tia saja” sahutnya.
“Nama yang bagus mbak, hehehe. Kalau saya Niko mbak.
Lebih tepanya Niko Dwi Saputra”
“Ok, mas Niko saya akan menjadi pemandu yang baik buat
mas”
“Tidak usah pakai mas, panggil Niko saja cukup”
“Iya mas Niko, oh, oh, Niko”
“Nah, seperti itu kan lebih enak. Kamu panggil saya
Niko, saya panggil kamu Tia. Kan kelihatan lebih akrab”
Sejak pertemuan malam itu dengan Niko, pelanggan
“ESC”. Hidup Tia menjadi sedikit berubah. Tia lebih semangat menjalani hidup.
Tia ngerasa Niko adalah pelanggan spcesial baginya. Karena baru kali ini,
mendapati seorang pelanggan yang supel. Tia merasa seperti tidak ada sekat saat
menjadi pemnadunya, yang ada hanya sapaan akrab bagaikan teman saja. Itulah
yang membuat Tia nyaman menjadi pemandunya.
***
Pagi, menjelang. Suara kicauan burung terdengar begitu
merdu. Berpindah dari dahan satu ke dahan yang lain. Embun pagi yang membasahi
kaca jendela mulai menetes, seiring kemunculan sang mentari. Hangat lembut
sentuhan sang mentari seperti halnya sentuhan sang Ibu yang telah lama
meninggalkan kehidupan Tia, datang melewati sela-sela kain penutup tubuh Tia.
Nampak wajah yang sedang kelelalahan. Ya benar saja, Tia hampir setiap hari
pulang larut malam. Tia sampai di rumah, saat sang paman Roni, sudah terbaring
di tempat tidurnya. Mengendap-mendap seperti para pencuri, Tia memasuki rumah.
Ia tak mau membangunkan pamannya. Karena ia tahu pamannya telah lelah bekerja
seharian. Ia tak mau mengganggu tidur pamannya, hanya karena kedatangannya
pamannya menyempatkan diri bangun dari tidurnya.
Terdengar suara dari balik pintu tengah kamar Tia.
Semakin lama, suara tersebut semakin mendekat. Ternyata sang paman Roni, yang
menyempatkan waktu paginya untuk melihat keponakannya. Roni memperbaiki selimut
Tia, yang sudah tidak pada posisinya lagi. Sesekali Roni memandangi wajah Tia
yang begitu ia sayangi. Wajah yang mengingatkannya dengan Mona, adik kandungnya
yang juga ibu kandung Tia. Roni tampak begitu ingat, saat ia masih tinggal
bersama dengan Mona. Di salah satu sudut kota yang jauh dari keramaian. Mereka
kecil (Roni dan Mona) saling berebut mainan, hanya sang ibulah yang mampu
memisahkan mereka.
“Tia, Wajahmu begitu mirip dengan ibumu Mona. Sifatmu
pun tak ketinggalan seperti ibumu. Aku masih ingat dua puluh lima tahun yang
lalu. Saat aku masih tinggal seatap dengan ibumu. Bagaimana ia dulu kecil, tak
mau menyerah utntuk mendapatkan keinginannya. Dan kini sifat-sifat ibumu ada di
dalam dirimu” Pekik Roni dalam hati.
Kini itu hanya sebuah kenangan di antara mereka
berdua. Mona yang dulu sangat Roni sayangi sebagai adik. Kini sosoknya menjelma
dalam tubuh Tia. Roni tak kuasa menahan isak tangis, saat melihat wajah Tia.
Wajah yang menurut Roni belum pantas untuk merasakan derita yang begitu berat.
Menjalani kehidupan yang begitu keras. Namun, satu yang menjadi keyakinan Roni
bahwa ini adalah jalan yang Tuhan berikan untuk Tia keponakannya, anak kandung
Mona. Roni pun yakin, Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar
sebagai balasan untuk Tia.
Sebelum tangisnya pecah, Roni tinggalkan Tia yang
masih tertidur. Roni tak mau mengganggu tidurnya gara-gara tangisnya. Cukup ia
yang merasakannya, cukup ia yang memikirkannya. Kini tinggallah Tia seorang
diri di dalam kamar. Sang paman sudah bergegas pergi ke terminal untuk menyibak
padatnya jalanan protokol Semarang. Mencoba mengais rejekinya hari ini. Tak ada
lagi keluh yang mampu halangi langkahnya, ketika ia sudah memacu degup
jantungnya.
Matahari pagi, mulai menerobos celah dinding kamar
Tia. Membelai mesra, bagaikan belaian Ilahi. Belaian inilah yang selalu
bangunkan Tia setiap pagi datang. Begitu Tia bangun dari tidurnya, sudah Nampak
suasana rumah yang begitu sepi. Selalu saja seperti itu. Saat ia terbangun,
rumah sudah sepi. Begitu pun saat ia pulang dari tempat kerja rumah sudah sepi,
karena sang paman sudah tertidur pulas di kamarnya.
Sudah hampir satu tahun ini, Tia tinggal bersama sang
paman. Namun, belum sekali pun Tia pernanh berbincang dengan sang paman di
rumah. Mungkin saja, karena mereka berdua tidak pernah bisa bertatap muka.
Mengingat pekerjaan masing-masing yang memaksa mereka berdua seperti ini. Dalam
kesendiriannya di pagi itu Tia merasa ada sesuatu yang mengajaknya untuk
merenungkan perjalanan hidupnya selama satu tahun, saat pertama Tia tinggal
bersama dengan pamnnya sampai sekarang.
“Tia, sudah berapa lama kau tinggal dengan pamanmu?”
“Adakah kau berikan hiburan buat pamanmu?”
“Kau anggap apa pamanmu, tia? Apakah hanya sekedar
tempat untuk menumpang? Melepas lelah setelah kau selesai bekerja?”
“Tak pernahkah kau berfikir tentang kondisi pamanmu
saat ini?”
“Sudah pernahkan kamu berikan senyum indahmu untuk
pamanmu di pagi butanya?”
“Ataukah kau hanya bisa memikirkan dirimu sendiri?”
Serangan pertanyaan dari hatinya lah yang temani
paginya. Sejak pertanyaan itu menyerang dirinya, Tia merasakan hal tersulit
yang ia rasakan selama hampir setahun ini. Hal ini semakin membuatnya bertambah
pusing. Setelah sebelumnya Tia diserang perasaan kagum oleh seorang tamu
karaokenya. Entahlah, apa yang sekarang ada di dalam benak pikiran si Tia.
Segera setelah bangun dari tidurnya, Tia bergegas
membereskan rumahnya yang terlihat berantakan. Nampak juga beberapa punting
rokok yang tercecer di sudut-sudut ruangan. Sudah hampir satu minggu
ruangan-runagan dalam rumahnya tidak
tersentuk alat-alat pembersih. Sesekali Tia menyibakkan rambutnya yang menutup
wajahnya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 12.00 pekerjaan membersihkan rumah
sudah hampir selesai. Namun, hampir saja Tia lupa, ternyata kamar pamannya
belum ia bersihkan. Tanpa pikir panjang, kamar berukuran 4 meter persegi, ia
bersihkan. Dengan waktu sekejap kamar pamnnya sudah bersih, tidak lupa ia
menyemprotkan pengharum ruangan ke sudut-sudut kamar pamannya.
Belum sempat Tia beristirahat, sore sudah berada di
pelupuk mata. Semilir angin menambah romansa indah kala itu. Daun-daun di
ranting yang terlihat rapuh berguguran bagaikan tarian alam yang begitu Nampak
jelas di hadapan. Sesekali terdengar suara kendaraan yang hilir mudik melewati
rumah Tia.
Nampak, Tia sedang bersiap-siap untuk menuju ke tempat
kerjanya. Dipakainya eye shadow untuk mempercantik matanya. Dengan
cekatan, bedak yang ada di tangannya tiba-tiba sudah merubah wajah Tia menjadi
sedikit bersinar. Ditambah lagi dengan lipstik merah mewarnai kedua bibir Tia
yang sebanarnya tanpa lipstik pun bibir Tia sudah merah. Namun, karena tuntutan
profesi semua alat kosmetik itupun satu persatu menghiasi wajah Tia.
Ketika hampir sampai di depan pintu. Tia merasa, ada
hal yang masih mengganjal pikirannya. Benar saja, pertanyaan hati yang tadi
membayangi benak Tia kini muncul lagi. Spontan Tia mengurungkan niatnya untuk
pergi ke tempat kerja. Tidak biasanya, ada hal yang bisa membuat Tia tidak
berangkat bekerja. Tak lama kemudian, muncullah niatan Tia, untuk memberikan
persembahan buat Roni pamannya. Paman yang telah berikan kasih sayang, pasca
kedua orangtuanya pergi.
Ia pun melepas tas sampingnya yang masih menggantung
di pundak. Langkahnya kakinya membawanya ke dapur. Dibukanya tudung saji di
atas meja, yang ternayata kosong. Kemudian, diambillah beberapa butir telur
yang masih tersisa di dalam lemari yang ada di sudut dapur. Kompor dinyalakan,
dan telurpun dalam waktu singkat sudah matang. Berturut-turut setelah itu,
nasi, sayur dan sambal sudah selesai dibuatnya. Kini, meja yang tadinya kosong
berubah menjadi penuh dengan makanan.
Denting jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Biasanya
pamnnya jam segini, sudah berada di rumah. Tapi, tak tahu kenapa sampai saat
ini pamannya belum juga Nampak di rumah. Dalam penantiannya menunggu kehadiran
sang paman, handphonenya bergetar. Sebuah SMS mengisi kotak masuk di
telponnya.
Dari : +6286………..
Sore Tia, mala mini aku
mau maen ke tempat karaoke kamu. Temenin aku yah untuk malam ini. By. Niko
Ternyata SMS itu dari si Niko. Tamu karaoke yang baru
sekali bertemu dengannya. Tia hampir saja bingung, darimana si Niko dapat nomer
handphonenya.
Dari : +6286……….
Maaf Tia, aku minta nomer
kamu dari si Novi, kasir karaoeke kamu. Maaf juga sebelumnya tidak minta ijin
kamu dulu. Thx. By. Niko
“Sialan si Novi, pakai tidak kasih tahu segala. Ngasih
nomerku ke orang lain” batin Tia.
Belum sempat Tia membalas SMS dari si Niko. Roni
pamnnya sudah tiba di rumahnya.
“Lho, kamu tidak berangkat kerja Tia?” Tanya pamannya
santai.
“Tidak paman, lagi tidak mood saja paman”
jawabnya singkat.
“Oh, kirain ada apa, ya sudah paman mau istirahat
dulu. Oh ya tia, kalau kamu belum makan, pergi ke warung depan rumah saja.
Nanti paman yang bayar” melihat si Tia.
“Tia, sudah makan kok paman” menghela nafas panjang
“Oh ya sudah kalau gitu” lanjutnya.
Roni, menuju ke dapur untuk mengambil minum. Kaget
bukan main Roni, melihat meja makannya sudah penuh dengan sajian masakan. Rasa
heran dan penasaran mengelayuti pikiran Roni.
“Yak, ini makanan siapa yang masak? Kok, banyak
sekali” teriak Roni.
“Saya paman, maaf paman nanti kalau rasanya kurang
enak. Sudah lama Tia tidak memasak paman” Sahut Tia.
Mendengar jawaban Tia. Roni semakin bingung, ada apa
dengan si Tia. Namun, hati Roni merasa senang. Baru kali ini, Tia membuat
masakan untuknya. Roni seperti baru saja mendapatkan anugrah yang tiada terkira
dari Ilahi. Dengan lahap, Roni menghabiskan sajian masakan yang dibuat
oleh keponakan satu-satunya, Tia. Sudah lama Roni tidak pernah makan di
rumahnya sendiri. Setiap harinya ia selalu pergi ke warung depan rumah untuk
mengisi perutnya. Hingga di sore ini, Tia membuat masakan untuknya.
Nampaknya, masakan yang di buat Tia mengingatkannya
dengan masakan Ibunya si Tia, yang sekaligus juga adik kandungnya. Sudah hampir
2 tahun yang lalu. Terakhir Roni merasakan sensasi masakan Ibunya Tia.
“Tia, masakan kamu mirip sekali dengan masakan buatan
ibumu” teriak Roni kepada Tia.
Mendengar suara pamannya, Tia merasakan perasaan
senang yang tiada terkira. Apalagi, ketika mendengar pamannya memuji masakannya
mirip dengan masakan ibunya. Walaupun bagaimana keadaan sang ibu, Tia merasa
berhutang budi dengan ibunya yang telah memberikan segalanya buat dirinya.
Setidaknya berkat sesuatu dari ibunya, Tia bisa memberikan kebahagiaan buat
pamannya.
“Iya paman terimakasih, kapan-kapan Tia masakin lagi
buat paman”
Semarang-Kendal, 26
Januari- 5 Februari 2013
###