25 July 2013

Suasana langit sore di Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Walisongo Semarang

Dari alam aku belajar keindahan,
Dari Tuhan aku belajar hakikat hidup,
Dari hidup aku belajar arti perjuangan
Dari dunia aku belajar kehidupan


12 July 2013

BATASKU
Oleh; Saifudin elf

“Ayo semangat dek, keterbatasanmu bukan menjadi alasan untukmu menjadi lemah ” kata yang terakhir kali aku dengar sebelum kematiannya. Rudi memang salah seorang seniorku yang pernah aku idolakan saat aku menjadi mahasiswa baru. Dengan perawakan yang tinggi tegap. Paras wajahnya pun juga sedikit bercahaya, ketimbang beberapa seniorku yang lainya.

Hingar-bingar kehidupan kampus sebuah perguruan tinggi nampak sekali mengerikan dalam fikiranku. Entah apa yang membuat seperti ini? Tapi itulah diriku yang selalu merasa asing dan takut saat memasuki dunia baru.

“Kamu masuk PTAI (perguruan tinggi agama Islam) yang ada di semarang saja ya nak”, Ucap ibuku kepada diriku di suatu sore.
“Tapi, aku tidak ada minat di PTAI. Apalagi di Semarang, aku ingin sekali kuliah di Surakarta buk”, jawabku dengan penuh pengharapan.
“Iya nak, ibu faham. Kamu memang boleh punya keinginan. Tapi kamu juga harus ingat, ibumu ini siapa nak? Pekerjaannya apa nak?”, sahut ibuku berikutnya.

Sejak perbincanganku dengan ibuku di sore itu. Kulalui hari-hariku dengan selalu merenung. Merenung untuk mencari sebuah jalan keluar. Hingga akhirnya aku pun bisa menerima keinginan ibuku. Walaupun itu berat, tapi itu sudah menjadi sebuah keputusan.

Suara bising kendaraan bermotor menyapaku di pagi itu. Pagi dimana aku akan memulai langkah yang menurutku besar. Yah, tentu saja karena hari itu, hari dimana diriku akan melakukan pendaftaran ke salah satu PTAI di Kota Semarang.

Udara pagi di kampung halamanku, di sudut Kota Kendal masih terasa sangat segar saat aku keluar dari rumah Ibuku. Setelah sebelumnya kusempatkan untuk menghubungi salah seorang kawanku yang juga sama-sama akan mendaftar di salah satu PTAIN di Kota Semarang.

“Ketemuan dimana bro?”, tulisku melalui pesan singkat SMS (Short Message System)
“Ketemu di Alun-alun kota saja”, balas Umar, temanku waktu di bangku SMA.

Kususuri jalanan yang cukup panjang, untukku bisa sampai di alun-alun kota. Benar saja, si Umar ternyata sudah stand by di alun-alun kota. Wajar saja, mengingat rumah Umar yang tidak jauh dari alun-alun kota. Kutemui Umar yang nampak sudah lama menunggu kehadianku.

“Gimana Mar, yakin daftar di PTAI Semarang”, tanyaku pada Umar.
“Iya Ud, aku sudah yakin. Mungkin ini sudah menjadi jalanku Ud”, jawabnya mantap.

Mendengar jawaban Umar, aku pun hanya bisa tertegun. Kenapa Umar bisa seyakin itu mendaftarkan diri di PTAI Semarang. Rasa iri pun menggeliat di dalam diriku. Aku yang belum bisa menerima keputusan ini, berbanding terbalik dengan Umar yang telah menyakini bahwa ini adalah jalannya.

Dalam perjalanan dari alun-alun kota menuju lokasi PTAI Semarang, hanya baying-bayang kata-kata Umar tadi yang selalu berputar-putar dalam fikiranku. Hingga tanpa sadar ternyata tubuhku sudah berada di depan gedung pendaftaran PTAIN Semarang.

“Selamat datang dek di kampus hijau”, ujar salah seorang mahasiswa senior yang nampak begitu ramah, menghampiri diriku yang terlihat kebingungan.
“Iya mbak terimakasih”, ujarku singkat.
“Namanya siapa dek ?”, tanyanya mencoba akrab.
“Namaku Mahmud mbak”, jawabku keheranan.
“Oh iya dek, kakak namanya Santi mahasiswa semester 3 Pendidikan Kimia”, ucapnya memperkenalkan diri.

Senyum manis, nampak dalam raut perempuan yang sudah berstatus mahasiswa di PTAI Semarang. Kesan pertama yang menurutku, kesan yang cukup menarik. Bayang-bayang akan kejamnya Perguruan Tinggi, sedikit terkikis dengan perjumpaanku pada perempuan itu.

Aku dan Umar setibanya di gedung pendaftaran, segera melakukan registrasi awal dengan menyerahkan beberapa uang rupiah pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu. Kudapatkanlah formulir pendaftaran begitu uang sudah diterima bagian registrasi. Kota-kotak serta kolom-kolom yang tertera di formulir pendaftaran tersebut sedikit meembingunkan diriku. Sontak perempuan yang mengaku bernama Santi yang sempat menyapaku di awal kedatanganku, bersedia untuk menuntunku diriku mengisi setiap isian yang ada dalam formulir tersebut.

“Sudah selesaikah formulir itu kamu isi mar?”, tanyaku kepada Umar.
“Sebentar lagi selesai Ud. Kamu memilih program studi apa saja Ud”, lanjut Umar
“Aku mengambil prodi Ilmu Komunikasi Islam dan Pendidikan Biologi”, jawabku singkat.
“Kalau aku ngambil Ekonomi Islam dan Pendidikan Bahasa Arab”, sahut Umar sambil menunjukkan formulir pendaftarannya.
Aisshh, mau jadi Pak Yai ya mar”, ledekku pada Umar disertai dengan tawa menggelegar.

Bayang-bayang prosesi awal pendaftaran kuliah masih saja teringat dalam benakku hingga tiba akhirnya pengumuman kelulusan seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ku lihat secara seksama setiap nomor pendaftaran yang terpampang di papan pengumuman kampus PTAI Semarang. Kulihat di semua fakultas dan semua program studi, hingga kutemukan nomor pendaftaranku tertera di barisan calon mahasiswa baru pada program studi Ilmu Komunikasi Islam.

Melihat papan pengumuman tersebut, aku hanya bisa tertegun. “What, it is my Way ?” serasa belum mampu untuk menerima kenyataan seperti ini. Kutinggalkan lokasi kampus dengan kepela tertunduk lesu. Mencoba meratapi apa yang baru saja aku terima. Yah, kenyataan diterima di PTAI Semarang.

Gerbang Baru,
“Ayo adek-adek baris yang rapi ya, sesuaikan barisan dengan kelompok masing-masing”. Instruksi salah seorang panitia Orientasi Mahasiswa Baru.
“Ya Tuhan, kutakan hamba memasuki dunia baru ini, memasuki gerbang baru ini dengan keterbatasanku, dengan kecacatan tubuhku ini Tuhan”. Gumamku meminta kepada Tuhan.
“Mas’ud, kamu masuk kelompok 12 Fatimah Mernissi yah”. Ucap salah seorang panitia yang belum ku kenal namanya.
Perlahan-lahan, semua mahasiswa baru memasuki Aula PTAI yang nampak begitu besar dan luas. Terlihat beberapa panitia di depan pintu masuk dengan wajah yang sedikit songkak. Aku bersama 1.200 mahasiswa baru yang lainnya kini telah berada di dalam aula. Suasana Ramadhan waktu itu tidak menyurutkan semangatku untuk memulai proses awal di kehidupan kampus.
Dengan seksama ku dengarkan semua materi serta penjelasan dalam rangka kegiatan Orientasi Mahasiswa baru. Mengenakan baju kemeja berwarna putih polos, celana panjang warna hitam, dasi hitam serta sepatu hitam. Itulah diriku bersama mahasiswa baru lainnya sebagai tanda peserta orientasi mahasiswa baru.
Di tengah keramaian serta hiruk pikuk kegiatan orientasi mahasiswa baru, aku hanya dapat tertegun emncoba untuk terus tegar. Apakah nantinya aku mampu mebaur dengan mereka, yang lebih sempurna daripada aku. Hingga tibalah saatnya diriku mengikuti prosesi orientasi di tingkatan Fakultas. Kali ini, hanya bersama 190 mahaiswa baru lainnya yang satu fakultas denganku. Maklum saja, Fakultas yang kuambil memang bukan Fakultas unggulan, yang sangat minim peminat.
“Ayo dek cepat, kamu masuk kelompok 8”. Ucap mbak Mega, seniorklu sekaligus penanggungjawab kelompokku.
“Iya mbak”. Jawabku singkat.
“Kamu tidak usah minder seperti itu dek, santai saja. Toh, kita semua juga pernah mengalami proses sepertimu”, kata mbak Mega kepadaku.
Di tengah-tengah perbincanganku dengan mbak Mega, ada instruksi dari panitia orientasi mahasiswa baru tingkat fakultas.
“Setiap kelompok silahkan membuat yel-yel masing-masing, jangan lupa lusa, teman-teman harus susah hafal dengan yel-yel kelompok masing-masing. Mengerti?” Ucap kak Rudi di depan podium.
“Mengerti kak”, jawab kami serentak.
Namun, keserentakan jawaban kami tidak berlaku dalam benakku. Bayang-bayang sakit hati yang pernah kualami waktu SMP dulu, masih menyisakan sakit yang mendalam. Tak pelak, aku pun hanya dapat terdiam dalam setiap kali ada perkumpulan kelompok, perkumpulan jurusan, yang jika aku lihat teman-temanku terlihat begitu berbeda dengan diriku.
“Dek, kamu kenapa?” Tanya kak Rudi pada diriku.
“Tidak apa-apa kak”, jawabku singkat.
“Kok, kamu diam saja. Terus kamu juga jarang terlihat kumpul dengan teman-teman satu kelompokmu terus juga jarang ngumpul dengan teman satu jurusanmu”, Tanya kak Rudi lagi kepadaku.
Belum sempat ku jawab pertanyaan kak Rudi. Kak Rudi sudah memberondong lagi beberapa pertanyaan kepadaku.
“Kalau ada apa-apa, ceritalah sama kakak. Kalau bisa bantu pasti kakak bantu”, lanjut kak Rudi.
Aku pun hanya terdiam.
“Dek, dek, kamu masih sadar kan”, kata kak Rudi.
“Iya kak, aku masih sadar”, aku terbangun dalam lamunaku.

Akhirnya aku pun menceritakan semuanya kepada kak Rudi. Dari awal sampai detik itu juga apa yang pernah kualami. Dengan wajah yang terlihat tegar kak Rudi hanya bisa tersenyum melihat diriku bercerita kepadanya.
“Ayo semangat dek, keterbatasanmu bukan menjadi alasan untukmu menjadi lemah ”, ucap kak Rudi setelah aku selesai bercerita kepadanya.
Kata-kata yang menjadi penyemangat dalam hidupku. Pertemuan serta percakapan itulah yang menjadi pertemuan dan percakapan terakhirku dengan kak Rudi. Karena 2 hari sejak moment itu kak Rudi terlibat dalam kecelakan maut di depan gerbang kampus, yang menyebabkan kak Rudi mengalami gegar otak dan akhirnya meninggal dunia.
Kabar kematian kak Rudi, sangat memilukan bagiku. Sosok yang sempat menjadi penerang jalanku, kini telah tiada. Sosok yang pernah memberikanku semangat untuk terus melangkah, kini hanya menyisakan kerinduanku kepadanya.
“Terima kasih kak Rudi, semoga Tuhan memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya”, pintaku kepada Tuhan.
Sejak saat itu, perlahan-lahan aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Ku coba untuk terus menjalani proses yang begitu keras. Ku coba untuk menjalin komunikasi dengan teman-temanku. Hingga akhirnya aku bisa menjadi seperti sekarang ini.
“Keterbatasan bukan menjadi penghalang diriku, buakn menjadi alas an untuk menjadi lema”, kata-kata yang selalu kujadikan pemacu dalam setiap langkahku.
Selamat jalan kak Rudi, jasamu kepadaku tak akan kulupakan.
Semarang, 2 – 6 Juli 2013

Di ruang kenangan


08 July 2013

#Ramadhanku

Dalam pekat malam kubersujud,
Mengharap ampun atas segala salah dan khilaf,
Ramadhan telah berada di ujung persimpangan jalan,
Ku rindu akan kedatangannya,
Ku rindu saat nafas menjadi tasbih,
Langkah menjadi dzikir,
Ya, Ramadhan itu,
Ramadhan tahun kemarin masih terkenang di dalam ingatanku,
Ramadhan tahun ini msih dalam penantian,

"Saifudin elf"


19.14 Wib, masih tertahan menunggu pengumuman sidang isbat dari Kementerian Agama RI. Sebagai warga negara yang baik, saya akan mengikuti ketetapan pemerintah dalam mengawali Ramadhan tahun ini. Entah Besok atau lusa awal Ramadhannya tidak menjadi persoalan.
Perbedaan adalah anugrah terindah yang Tuhan berikan :).

01 July 2013

Juangku Takkan Hentikan Langkahku
(Catatan pendakian puncak Gn. Sindoro 3153 Mdpl)


Intermezzo…
Pagi itu (kamis, 20 juni 13’), tubuh kecilku telah terbawa angin hingga sampailah diriku di tanah pengabdianku. Dk. Turi Ds. Turitempel Guntur Kabupaten Demak. Seingatku jam 10an diriku beserta 3 orang temanku sampai di lokasi tanah pengabdian KKN 2013. Ada seberkas kenangan yang masih bisa kuurai sesampainya aku di sana. Aku pun masih ingat bagaimana emosiku waktu itu menghadapi teman-temanku memuncak. Ah, tak terasa sudah 20 hari ku tinggalkan tanah pengabdian itu.

Berbarengan dengan itu pun, aku masih saja berhutang dengan diriku sendiri. Hutangku pada diriku sendiri, untuk mengajakku diriku menapaki jalanan panjang menuju puncak 3153 Mdpl. Sampai akhirnya dengan segala persiapan serta perencanaan bahwa, pasca pelaksanaan KKN 2013 diriku akan bersegera menjamah eloknya liukan tubuh Sindoro. Oh, tapi apa yang terjadi ? rencana itu gagal di tengah jalan. Banyak rintangan yang aku alami waktu itu, mulai dari datangnya teman-temanku dari beberapa PTAI se-Indonesia ke Semarang, yang menjadikanku otomatis harus menemani mereka. Oh God !!! Hingga kerjaan yang menggunung yang musti ku selesaikan dengan cepat.

Jalan Tuhan memang tak selamanya lurus dari datar-datar saja. Banyak rintangan, tikungan, tanjakan dan ujian. Hingga akhinrnya Tuhan tunjukkan betapa indahnya akhir perjuangan.

Turitempel, kau sungguh telah buatku gila, gila memikirkan setiap kenangan yang kau berikan kepadaku. Nampaknya, kenangan itu akan terus bergelayut dalam pikiranku. Tapi, biarlah itu terjadi.

Kembali kususuri jalanan panjang menuju Kabupaten Jepara, tepatnya di kecamatan Kedung. Jalanan berkelok serta panas matahari yang mencolok membuat perjalananku waktu itu begitu panjang. Sekita pukul 12.30 diriku telah sampai di lokasi. Kali ini bukan untuk jalan-jalan, akan tetapi untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan salah satu kawanku. Setelah dari Kedung Jepara, ku pacu kendaraanku mengitari jalanan  Jepara menuju Pantai Bandengan. Salah satu pantai dengan pasir putih nan eksotis. Kunimati Sunset yang nampak menawan di batas cakrawala. Ditemani gurauan dan candaan dari kawan-kawanku serta Pak Carik Ds. Turitempel. Kembali membangkitkan jiwa petualanganku.

Aha ! sinyal pentualangnku kembali bergeliat. Bergeliat di antara jalanan Pantai Bandengan-Bangsri Jepara. Kuambillah handphoneku. Ku panggillah kawanku yang ada di semarang. Spontan ku berkata; “Nda, siapkan logistic! Sabtu pagi kita nanjak ke Sindoro. Jum’at malam aku ke tempatmu….”, “Tuut..tuut..tuut..”, telpon pun ku akhiri.

“Ini ide gila pud”, ucap seorang kawanku padaku. “Santai saja bro, siapkan diri, siapkan logistic jangan lupa untuk terus berdo’a pada Tuhan”, jawabku mencoba menenangkannya.

Sekembalinya dari Jepara, segera ku persiapkan segala macam keperluan untuk pendakian Gn. Sindoro lusa. Dengan berbekal tenda yang sudah beberapa bulan nyantol di kamar kosku. Serta tas Carrier butut hasil pinjaman temanku waktu pendakian Gn. Lawu. Ku coba untuk menghubungi beberapa kawanku yang sekiranya bisa menemaniku melakukan pendakian kali ini.

Akhirnya ada 3 orang kawanku yang akan menemaniku dalam pendakian kali ini. Briefing ringan ku lakukan di malam sebelum pendakian. Di temani secangkir kopi, ku paparkan beberapa catatan tentang persiapan, peralatan serta medan pendakian. Hingga akhirnya kami sepakat untuk berangka esok pagi dari Semarang.

Adventure, start in Here
Udara pagi Semarang waktu itu, masih saja sempat menghaturkan salam hangat kepadaku. Kusibak tirai jendela yang sejak sore menutup jendela kamar kosku. Ku ambil handphone, ku kirim pesan kepada kawan-kawanku. “Ayo, bangun pagi bro. Ndang adus, ndang mangkat…”

Waktu itu jarum jam telah menunjukkan pukul 09.00 saat aku bersama kawan-kawanku meninggalkan Semarang. Jalanan yang cukup panjang dengan udara yang sangat segar mengiringi perjalananku menuju Basecamp Sindoro. Kebetulan aku menggunakan sepeda motor dengan rute;

Ngaliyan (Semarang) – Boja – Limbangan – Sumowono – Temanggung – Parakan – Kledung.

Kuhabiskan waktu sekitar 2 Jam 45 Menit untuk bisa sampai di Basecamp Kledung. Sesampainya di basecamp, segera ku mengisi buku registrasi pendakian. Tarif registrasi Rp. 4.000,-/orang. Parkir sepeda motor Rp. 5.000,-/motor.

Tanpa fikir panjang, segera kulaksanakan sholat dzuhur dengan cara dijamaka dengan shalat ashar sekalian. Hal ini untuk efisiensi waktu saat perjalanan naik. Karena ketidak tersediaan air untuk berwudhu.

Melihat persiapan sudah cukup, setelah sebelumnya makan siang, packing perlengkapan dan logistic. Segera kutinggalkan basecamp sekitar pukul 14.00.

Basecamp – pos Ojek    : 60 Menit
Pos Ojek – pos 1           : 30 menit
Pos 1 – pos 2                : 60 menit
Pos 2 – pos 3                : 90 – 100 menit

Dengan kontur yang cukup panjang, kuhabiskan waktu sekitar 1,5 jam untuk sampai di Pos 1. Kemudian, setelah itu sampailah di gerbang hutan. Kembali kususuri jalanan yang sedikit mulai menanjak, dengan medan di tengah hutan. Akhirnya tibalah di pos 2 tepat pukul 17.30. jangan lupa sebelum sampai di pos 2, akan ditemui pertigaan. Ambil yang kea rah kanan, melewati lembah yang sedikit menurun hingga nanti sampai di pos 2. Pos 2 berupa gubug kecil yang terbuat dari kayu dan seng.

Dari pos 2, jalanan akan semakin menanjak. Kuhabiskan waktu berkisar 1,5 jam untuk sampai di pos 3. Pos 3 hanya berupa tanah lapang, yang biasanya sering dijadikan tempat nge-camp para pendaki sindoro. Sesampainya di pos 3. Kudirikanlah tenda, untuk menjadi tempat berlindung waktu malam menjelang.

Setelah bersantap malam, kuambillah sarung yang ada di Carrierku untuk menemani tidurku malam itu.

Waktunya Summit Attack,
Waktu udara gunung masih sangat dingin terasa, waktu jarum jam menujukkan pukul 02.49. Kulangkahkan kakiku yang mulai gontai. Kembali menapaki jalanan menanjak untuk menggapai puncak 3153 Mdpl.

Berbekal senter di tangan, tas carrier di punggung serta jaket tebal yang menempel di tubuh. Jejakku tak akan pernah berhenti sampai di sini. Menapaki alam ciptaan Tuhan yang Maha Indah. Kawan-kawan nampaknya masih perlu beradaptasi dengan suasanan dinginnya gunung. Walaupun ini baru summit attackku yang pertama, yang ku lakukan sebelum matahari terbit, tapi semangatku tetaplah semangat-semangat sebelumnya saat ku masih belajar bersikap bijak terhadap alam.

Pendakian Gn Ungaran, Gn. Merbabu, Gn. Lawu telah berikanku pelajaran berharga akan keagungan alam ciptaan Tuhan.

Langkah demi langkah mulai kami tapaki. Tanjakan demi tanjakan mulai kami naiki. Pohon demi podon mulai kami lewati. Ditemani kawan-kawanku dan kawan pendaki lain semangatku semakin membara. Tujuan kami sama, puncak ! Walaupun puncak bukanlah tujuan akhir, tapi puncak adalah sebuah bonus perjuangan.

Golden Sunrise
Subhanallah !!! Inilah keagunganmu Tuhan. “ This is The Golden Sunrise”. Nampak indah sekali sunrise waktu itu. Berwarna kuning ke-orange-an bagaikan emas yang sedang bersinar. Memang tiada duanya. Kupandangi moment-monet indah Sunrise waktu itu. Setelah kuselesaikan shalat subuh, duduklah diriku di atas tebing, menikmati setiap deti pergerakan mataharai dari garis cakrawala. Melihat pula Gn. Sumbing yang terkena pancaran sinar matahari, semakin memperlihatkan keindahannya.

Pos 3 – pos 4                            : 3 Jam
Pos 4 – padang eidelweiss         : 1 jam
Padang eidelweiss – puncak       : 30 Menit

Menginjak pukul 07.30 segera ku bergegas untuk teru melangkahkan kaki menuju puncak Sindoro. Hampir saja waku menunjukkan pukul 08.00 saat ku tiba di Pos 4 Watu Jajar. Sesampainya di sana, tenagaku sudah hampir habis. Tidak hanya itu persedian air minum pun sudah semakin menipis, hanya menyisakan air dalam botol ukuran 1,5 Liter. Itu pun belum sampai di puncak, ditambah untuk persediaan selama turun gunung dan yang lebih parahnya lagi air segitu masih harus berbagi dengan 3 orang temanku yang lain. Benar-benar kondisi yang sangat sulit. Dilain sisi, diriku ingin sekali menggapai puncak, lain sisi tubuh ini sudah mencapai batas tenaga yang tersisa.

Puncak Sebentar Lagi,
Perjumpaanku dengan seorang pendaki yang masih muda, mengembalikan semangatku waktu itu. Dengan berbekal ayunan kaki 5 langkah ku bulatkan tekad untuk terus melangkah. Walaupun setiap lima langkah sampai 10 langkah, diriku harus berhenti untuk mengambil nafas. Tak jarang pula diriku menyempatkan diri untuk memejamkan kata, walaupun hanya 10 menit.

“Itu sudah puncak ngud?” tanyaku pada temanku. “Iya bro, ini sudah bukit yang terakhir. Ini puncak bro” jawabnya. “Puncak sebentar lagi, ayo semangat” ucapku dalam hati.

“Ah, luar biasa indahnya Puncak Sindoro”, ucapku sesampainya aku di puncak Sindoro. Segera ku rebahkan tubuh yang sudah mulai gontai dalam sapuan angin gunung. Tepat pukul 09.30 ketika kuinjakkan kakiku di atas puncak Sindoro.

Kusempatkan untuk mengambil beberapa gambar dengan kamera handphone. Walaupun hasilnya memang tidak bagus, tapi tak apalah untuk menjadi dokumentasi pendakianku.

Saatnya turun gunung,
Setelah 30 menit berada di ketinggian 3153 Mdpl, kuputuskan untuk segera turun gunung, sebelum senja menghampiri kami. Kususuri jalanan menurun melewati jalur yang kami gunakan untuk mendaki. Ku lewati beberapa tempet yang pernah kami gunakan untuk beristirahat di waktu pendakian. Sekitar 6 jam lamanya waktu yang kugunakan untuk sampai kembali ke basecamp Sindoro di Desa Kledung Temanggung. Perasaan yang kurasakan waktu turun gunung cumin satu, bagaimana bisa secepatnya sampai di Basecamp untuk mengisi bahan bakar tubuhku yang sudah mulai tidak bisa di ajak kompromi lagi.

Senja pun mulai mengintip malu-malu, setelah ku lewati batas hutan dengan padang semak belukar dan hutan lamtoro. Kuberlari kencang meninggalkan kedua temanku di belakang. Enam jam berlalu dalam langkahku menuruni gunung Sindoro. Aku pun sampai di basecamp Sindoro dengan selamat, “Alhamdulillah Yaa Rabb, atas segala anugran dan lindunganMu”.

Dengan sampainya diriku di Basecamp Sindoro Desa Kledung Temanggung, berakhirlah petualanganku kali ini, menggapai puncak 3153 Mdpl Gunung Sindoro.

Temanggung, 22-23 Juni 2013

Writed again by saifudin elf
On 28 Juni and 1 Juli 2013















Welcome

Selamat Datang,
Selamat berkunjung di webblog milik Saifudin Elf, sebuah catatan sederhana dari sebuah proses dinamika berfikir, merangkai, dan menyusun kata.
"tak ada sejarah yang terukir tanpa tulisan, tak ada dokumentasi seindah lukisan Tuhan"
dengan motto tersebut, ku coba untuk menuangkan segala hasil pemikiran, jejak kaki, dan perjalanan hidup melalui webblog sederhana ini.
Kritik dan saran sangat saya harapkan,
Kritik dan saran Hubungi :
Saifudin ELF SMS/Call : 085740951321
Email : iffudz.saifudin@gmail.com
Twitter : @saifudinelf
Best Regard,
-saifudin elf-

Categories

Powered by Blogger.

Followers

Visitor


Blog Archive

Contact us

Name

Email *

Message *

Business

Instagram