10 January 2014

REALITAS BUDAYA DAN AGAMA; WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Oleh : Saifudin elf

      PRE-FACE
Islam sudah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan.Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktiner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia.
Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.  Secara umum studi islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta eternal, untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Adapun kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.
A.   Sejarah Kemunculan Wayang
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam wayang orang peranan dalang tidak begitu menonjol.[1]
Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di nusantara.[2] Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara, khususnya di Jawa, wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relief yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.[3]
Sejumlah pendapat mengatakan bahwa wayang purwa merupakan bentuk seni pertunjukan wayang pertama kali di indonesia. Bentuk, macam dan atau jenis wayang yang lahir kemudian-seperti wayang madya, wayang gedong, wayang klitik-secara teknis, tertunjukannya selalu mengacu pada bentuk pertunjukan wayang kulit purwa; akibatnya, tidak mampu bersaing di masyarakat penggemar wayang.[4] Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Kakawin karya Mpu tantular dari zaman pemerintahan raja Airlangga dari jawa timur dalam abad ke-11, tertera dengan jelas sebuah inkripsi yang menyebutkan tahun 907 M tentang adanya wayang purwa.[5] Data yang ditemukan pada teks prasasti dari Raja Balitung pada awal abad ke-10 M, disebutkan istilah “mawayang bwat hyang” yang kurang lebih berarti pertunjukan wayang untuk hyang” (hyang=dewata). Perbedaan pendapat tentang kapan awal kemunculannya, wayang tetaplah sebuah bentuk karya seni manusia yang mengandung berbagai macam sejarah perkembangannya, dan memiliki berbagai macam kegunaan pertunjukan.[6]

B.   Jenis-Jenis Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lainyya, baik masih populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam keputaskaan atau di museum-musem. Prof. Dr. L. Serrurier berdasarkan penelitian angket yang dilakukan di pulau Jawa, menghasilkan sebuah buku yang berjudul De Wajang Purwa. Dalam buku tersebut, disebutkan jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di Pulau Jawa, yaitu wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang jemblung, wayang kalithik (klithik), wayang karucil (kruvil), wayang legendaria, wayang lilingong, wayang lumping, wayang adya, wayang purwa, wayang sasak, wayang topeng, wayang pegon dan wayang wong.
Menurut jenis aktor dan aktrisnya, aneka ragam jenis wayang itu dapat diglongkan atas lima golongan, yaitu :[7]

1.     Wayang Kulit
Wayang  kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang  yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

2.     Wayang Orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong bahasa Jawa adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.

3.     Wayang Klitik (Kayu)
Wayang klitik (Jawa  wayang klithik) adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.
Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.


4.     Wayang Beber
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata  maupun Ramayana.
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamentik yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh tokoh tambahan yang tidak ada pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India) diantaranya adalah Semar dan anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Perlu diketahui juga bahwa Wayang Beber pertama dan masih asli sampai sekarang masih bisa dilihat. Wayang Beber yang asli ini bisa dilihat di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara.Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.[8]

5.     Wayang Golek
Pelaku yang muncul di panggung adalah boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Jadi seolah-olah boneka tersbut mencerminkan seorang wujud manusia, yang dijudkan dalam sebuah tokoh boneka dengn ukuran kecil.[9]

C.   Penggunaan Wayang Sebagai Media Dakwah
Pada perkembangannya, wayang menjadi sebuah tontonan, yang juga sebagai tuntunan dipertontonkan di kalangan masyarakat pada upacara perayaan umum. Seperti pada saat, upacara tahunan meruwat desa (bersih desa), atau meruwat sumber air (bersih umbul), dan upacara-upacara tahunan yang dimaksud untuk meningkatkankan kesejahteraan umum (rasulan atau wilujengan).[10] Wayang (pada beber) sebagai sarana pertunjukan ritual, seperti ruwatan, kaulan, nadar, menyembuhkan penyakit, menolak gangguan magis, mitoni, sepasaran bayi, selapanan bayi, supitan, tetesan, perkawianan, minta hujan, panen, dan bersih desa. Keadaan ini masih berlangsung sampai sekitar tahun 1900, tetapi pada masa selanjutnya wayang beber sedikit-deni sedikit memudar dan masa kini menjadi angka.[11]
Tak hanya bentuk wayang saja yang dimodifikasi. Para wali penyebar Islam di Jawa pun mengubah cerita wayang dengan menyisipkan ajaran-ajaran dan pesan moral yang sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu contoh ajaran moral Islam yang terkandung dalam cerita wayang dapat kita jumpai pada tokoh Bima dalam lakon "Bima Suci".
Ajaran moral Islam yang terkandung dalam lakon "Bima Suci" dibagi ke dalam empat tahapan, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam lakon itu, Bima menjadi tokoh sentral yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya.
Dengan keyakinan itu, Bima kemudian mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Selain ajaran moral, lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama.
Meski jalan cerita dalam lakon "Bima Suci" ini syarat dan kental dengan nilai keislaman, di sepanjang alur cerita tidak ditemui istilah-rstilah Arab. Menurut para sejarawan, inilah salah satu kepandaian yang dimiliki para Walisongo dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat.
Cara dakwah yang diterapkan para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan serta penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam kian hari kian bertambah, termasuk para penguasanya. [12]
Sama halnya dengan kebanyakan cerita wayang beber, yang pada zaman dahulu, kebanyakan memakai cerita purwa, yaitu mahabarata dan ramayana. Pada masa Islam, kemudian Sunan Bonang mengganti ceritera purwa, dengan ceritera gedhog (siklus panji).[13]
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun kerap menggelarnya. Karena banyak ajaran moral dan kebaikan dalam lakon-lakonnya yang bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan.
Selain dengan penggunaan wayang dalam bentuk aslinya, ternyata seiring dengan perkembangan daya kreatif menusia, dengan didukung perkembangan tekhnologi yang begitu pesat, kini terdapat varian-varian bentuk pertunjukan wayang, sebagai contoh kemunculan tokoh Si Unyil, seorang anak desa yang memiliki ide-ide cemerlang dalam menghadapi situasi lingkungan desanya. Kemudian dari tokoh Si Unyil muncul tokoh-tokoh populer seperti Pak Ogah, Pak Raden, Cuplis, Usro, Bu Bariah dll.[14] Hal ini menujukkan ternyata berawal dari sebuah kesenian masa lalu, yang kmudian dikemas dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga dari sini minat masyarakat untuk kembali pada budaya masa lampau semain meningkat. Akhir-akhir dasa warsa ini juga dikejutkan dengan berb agai bentuk tontonan yang bergenre wayang orang, seperti, kemunculan ketoprak humor, srimulat, overa van java. Adalah salah satu fenomena mulai terangkatnya kembali sebuah bentuk pementasan wayang dengan dimensi yang berbeda.
Dan kini yang menjadi persoalan dari bentuk-bentuk fenomena wayang kontemporer tersebut, adalah agaimana seorang pembawa pesan misi keagamaan mapu untuk menerobos industri wayang kontemporer tersebut, untuk sedikit membelokkan gaya menceritakan sebuah lakon, menjadi penceritaan pesan dakwah dengan menggunakan lakon tersebut. fenomena tersebut dapat menjadi nilai tersendiri dan juga dapat menajdi peluang tersendiri ketika seorang/lembaga yang inging berdakwah dengan memanfaatkan euforia masyarakat akan fenomena wayang kontemporer.
Fenomena yang lain adalang kemunculan Ustadz Cepot, yang seyogyanya hanyalah sebuah tokoh wayang kontemporer, akan tetapi karena pengemasannya yang begitu dinamis, menyebabkan banyak yang menyukai gaya berdakwahnya. Kemudian kemunculan Ki Enthus yang dengan piawai menyampaikan dakwahnya melalui tokoh-tokoh wayang yang dibuatnya. Dengan gaya bahasa yang ringan, menghibur, namu inti dari pesan dakwahnya tidak lepas. Dan nyatanya, banyak sekali masyarakat yang mengapresiasi cara berdakwah beliau.
Dan terakhir, dari penulis memberi gambaran besar, bahwa sesungguhnya berdakwah dengan menggunakan wayang pada masa sekarang, adalah sebuah alternatif  penggunaan media dakwah.

D.   Dalang di Balik Pertunjukan Wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.[15]
1)      Dalam buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda, yang disusun oleh Yoyo Rismayan W dikatakan :
Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi    dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang  memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beranekaragam.
2)      Dalang berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal = mengucapkan; dan lang  kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasehat. Hal ini adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.
3)      Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat.
4)      Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun sebaliknya.
5)      Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960.
6)      Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana   Barat juga).
7)      Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan/wejangan selama hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.[16]

Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya.[17]
Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat.
Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunya Rites of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial.
Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni suara, seni karawitan  dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu : Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai melawak; Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi Carita. [18]

    SIMPULAN
Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.
Adapun hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam di tanah Jawa itu tidak bisa lepas dari metode dakwah yang dipakai kala itu.Yang mana di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memberikan tuntunan dakwah yang baik-baik danbenar.
Berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan bentuk-bentuk pertunjukkan wayang kontemporer memberikan angin segar, akan perkembangan kesenian wayang, walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun untuk kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas. Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi salah satu alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa sekalian ikut melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi,
Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Giri Raharja, Reposisi Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Groenendael, Vicctoria M. Clara Van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dalang. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Kurniawan, Evan. Wayang, Media Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Murtiyoso, Bambang, dkk. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Etnika Surakarta.
Slamet  Mulyana, Dalang Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Suharyono, Bagyo. 2005. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Upanggah, Rahayu, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wayang Sebagai Media Dakwah, http://bataviase.co.id/node/507441, diakses tanggal 15 Nopember 2011

Catatan ; 
[1] Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press, 1988), Hlm. 11

[2] Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). Hlm. 1

[3] Evan Kurniawan, Wayang, Media Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15 Nopember 2011.

[4] Bambang Murtiyoso, dkk, Op. Cit, Hlm. 3

[5] Pandam Guritno, Op. Cit, Hlm. iii
[6] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009), Hlm. 49-50.

[7] Ibid, Hlm. 11-13
[8] Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15 Nopember 2011.

[9] Pandam Guritno, Op. Cit, Hlm. 12
[10] Vicctoria M. Clara Van Groennendael, Dalang di Balik Wayang, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), Hlm. 189.

[11]  Bagyo Suharyono, Wayang Beber Wonosari,  Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2005), Hlm. 4-5
[12] Wayang Sebagai Media Dakwah, http://bataviase.co.id/node/507441, diakses tanggal 15 Nopember 2011

[13] Bagyo Suharyono, Op. Cit, Hlm. 2-3

[14] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009), Hlm. 174
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Dalang. Diakses tanggal 15 Januari 2012

[16] Giri Raharja, Reposisi Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012


[17] Groenendael, Vicctoria M. Clara Van. Op.Cit, hlm 189

[18] Slamet  Mulyana, Dalang Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses tanggal 15 Januari 2012

0 comment:

Post a Comment

Welcome

Selamat Datang,
Selamat berkunjung di webblog milik Saifudin Elf, sebuah catatan sederhana dari sebuah proses dinamika berfikir, merangkai, dan menyusun kata.
"tak ada sejarah yang terukir tanpa tulisan, tak ada dokumentasi seindah lukisan Tuhan"
dengan motto tersebut, ku coba untuk menuangkan segala hasil pemikiran, jejak kaki, dan perjalanan hidup melalui webblog sederhana ini.
Kritik dan saran sangat saya harapkan,
Kritik dan saran Hubungi :
Saifudin ELF SMS/Call : 085740951321
Email : iffudz.saifudin@gmail.com
Twitter : @saifudinelf
Best Regard,
-saifudin elf-

Categories

Powered by Blogger.

Followers

Visitor


Blog Archive

Contact us

Name

Email *

Message *

Business

Instagram