IRONI, DI
BALIK NEGERI AGRARIA ?
Oleh :
Saifudin*
Indonesia
adalah negeri dengan jumlah pulau terbanyak di dunia. Indonesia juga masuk
dalam jajaran 5 besar Negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tidak hanya itu
Indonesiapun didapuk berada pada
peringkat ke-6 terbesar diantara negara-negara berkembang dan ke-5
tercepat dalam pertumbuhan di antara negara-negara G20 pada 2010, Indonesia
tidak dapat disangsikan lagi merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan
ekonomi tercepat di dunia. Melihat data tesebut bisa dikatakan
bahwa Indonesia adalah Negara yang luar biasa perkembangannya.
Namun,
yang memprihatinkan sekarang adalah Indoensia yang katanya sebagai Negara
agraris ternyata kalang kabut menanggapi isu kenaikan kedelai di Amerika.
Sungguh riskan jika melihat status Indonesia sebagai Negara agraris yang
seharusnya menjadi kiblat pertanian dunia justru ikut-ikutan kebakaran
jenggot.
Dengan
luas lahan panen kedelai lebih dari 660 ribu M2 seharusnya Indonesia mapu untuk memenuhi
kebutuhan kedelai dalam negeri tanpa harus mengimpor dari luar negeri.
Kebijakan pemerintah yang mewacanakan akan menaikkan harga kedelai semakin
membuat geram masyarakat Indonesia pada umumnya dan para produsen tahu maupun
tempe pada umumnya karena kedelai menjadi bahan pokok perputaran industri ini.
Ketika disinggung
masalah pengelolaan lahan panen di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan
memperingatkan adanya penyusutan luas panen lahan padi nasional. Tahun ini saja
terjadi penyusutan seluas 12,63 ribu hektar atau 0,1% total luas lahan. Secara
keseluruhan, lahan pertanian di Indonesia berkurang 27 ribu hektar pertahun.
Sehingga, penurunan luas panen tidak hanya terjadi pada padi, tetapi juga pada
komoditas lainnya, seperti kedelai. Meskipun ada penyusutan luas panen,
produksi gabah masih mampu mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan tahun
lalu. Hal ini mungkin karena adanya penggunaan pupuk atau bibit unggul sehingga
produksi gabah perhektarnya menjadi naik (Media Indonesia, 2/7/10).
Akan tetapi melihat
dari adanya kelebihan konsumsi kedelai masyarakat Indonesia yang mencapai lebih
dari 25 Juta ton kedelai setiap tahunnya. Hal ini menjadikan defisit kedelai
dalam negeri. Jika para petani kedelai Indonesia hanya mampu untuk memproduksi
600 ribu ton kedelai pertahun, secara otomatis Negara kita mengimpor kedelai
dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri.
Menyikapi kenyataan
ini, bahwa harga kedelai dunia melambung tinggi serta adanya kebutuhan kedelai
dalam negeri yang begitu besar. Pemerintah mewacanakan akan membebaskan biaya
pajak masuk kedelai impor ke dalam negeri, agar harga kedelai di dalam negeri
bisa stabil. Melihat hingga saat ini harga kedelai sudah mencapai angka 8.000
per kilonya yang sebelumnya berkisar 6.000 per kilonya. Namun, konsekuensi yang
harus diterima jika pemerintah memang benar-benar membebaskan biaya pajak masuk
kedelai impor., Indonesia bersiap-siap untuk dibanjiri kedelai impor dari luar
negeri.
Sungguh kondisi yang
sulit bagi pemerintah dan rakyat Indonesia pada umumnya. Dari kementrian
pertanian (kementan), kiranya perlu untuk meningkatkan swasembada pangan dalam
negeri, yang pada hal ini perlu adanya peningkatan produksi kedelai dalam
negeri. Memang hal ini sudah pernah terjadi pada decade 90-an saat orde baru
masih berkuasa dan setidaknya program swasembada pangan di masa orde baru perlu
digalakkan guna menekan imporisasi bahan pangan dari luar negeri.
Sunggu tragis jika Indonesia yang dahulu dikenal bangsa yang mandiri dalam
memenuhi kebutuhan pangannya, kini justru Indonesia menjadi Negara importer
kebutuhan pangannya. Melihat luasnya potensi lahan pertanian yang dapat
dimaksimalkan penggunaannya.
*Mahasiswa Jur. KPI
Fak. Dakwah Anggota Organisasi Pergerakan Mahasiswa IAIN Walisongo
0 comment:
Post a Comment