17 January 2014

Expedisi Akhir Tahun Mt. Sumbing 3371 Mdpl

Tahun 2013 segera berlalu dengan segala kenangan serta pengalaman yang pernah terukir. Ada manis, pahit, senang, gembira, pilu dan mengharukan. Ya, itulah sedikit dari hasil proses berputarnya roda kehidupan seseorang. Tahun 2013 bagiku adalah tahun yang luar biasa, di tahun ini dapat kuraih beberapa angan-angan serta impianku yang pernah terpikirkan. 

Moment pergantian tahun bagiku adalah moment dimana kita sebagai seorang manusia harus bisa berintropeksi diri. Menilai diri kita sendiri selama kurang lebih satu tahun kehidupan yang telah dijalani. Walaupun bagi beberapa orang, menilai diri sendiri adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Terkecuali orang lain yang memberikan penilaian tersebut.

Sudah sejak lama, aku sudah membuat sebuah rencana untuk menghabiskan moment malam pergantian tahun. Tentunya masih dalam koridor mengingat kepada yang Maha Mebuat Hidup. Rencana kali ini yang kubuat adalah, rencana Pendakian Akhir Tahun Mt. Sumbing 3371 Mdpl. Sebuah rencana yang menurutku sedikit beresiko, mengingat bulan desember-januari adalah musim penghujan, dimana cuaca di daerah pegunungan sulit sekali ditebak dan seringkali berubah tidak menentu. 

Walaupun demikian tekad dan rencana yang bulat sudah ada di tangan. Tinggal bagaimana mengeksekusi kesemuanya itu menjadi sebuah proses eksekusi yang baik. 

Seminggu sebelum tanggal 31 Desember 2013, kuberitahukan rencanaku tersebut ke beberapa teman-temanku yang biasa menemaniku mendaki gunung. Tentunya dengan harapan agar mereka bersedia menemaniku dalam pendakian kali ini. Mendekati pelaksanaan pendakian kudapati ada orang temanku yang menyatakan keinginannya untuk ikut pendaian kali ini. Meraka adalah; Lisin (2009), Suhud (2009), Arif (2012), Adiknya arif (Anak baru angkatan 2013), Atun (2010), dan Dian (2013).

Tim pendakian kali ini berjumlah tujuh orang termasuk aku. Masih seperti pendakian-pendakian sebelumnya, aku masih ditunjuk sebagai leader pendakian. Walaupun, teman-teman yang lain banyak yang sudah layak menjadi leader, tapi teman-tema yang lain masih mempercayai diriku. Pendakian kali ini adalah pendakian ke-10 kalinya. 

Sempat emosi di awal pemberangkatan, karena kita harus menunggu salah seorang kami yang kebetulan masih ada kegiatan kuliah lapangan pada tanggal 31 Desember tersebut. Dari rencana awal pemberangkatan pada pukul 09.00 pagi, akhirnya kita baru bisa berangkat jam 14.30 siang. Walaupun demikian, semangat kami tidak pernah menurun, justru semakin meningkat. Saat itu yang ada dalam benakku adalah, bagaimana caranya bisa sampai basecamp pendakian sebelum pukul 18.00. AKhirnya kupacu sepeda motorku dengan keceptan penuh, ku lewati tikungan demi tikungan, tanjakan demi tanjakan, serta turunan demi turunan. Hingga akhirnya kami bisa sampai di basecamp pendakian sebelum pukul 18.00

Kali ini, kami melewati rute perjalanan; Ngaliyan - Boja - Sumowono - Temanggung Kota - Parakan - Garung Wonosobo - Basecamp. Hampir 3 jam kami berada di jalanan sebelum akhirnya sampai di basecamp pendakian. Setibanya di basecamp pendakian, kondisinya sudah penuh sesak dengan para pendaki lain dari berbagai macam daerah. Maklum saja, gunung adalah salah satu tempat favori untuk menghabiskan malam pergantian tahun.

Kuparkirkan kendaraan kami sesuai dengan petunjuk para ranger Sumbing. Kemudian, kami beristirahat sejenak sambil mempersiapakan segala kebutuhan pendakian. Kami berencana mendaki setelah sholat Isya'. Ku sempatkan sejenak untuk menikmati suasana dingin ala-ala kaki gunung dengan menikmati nasi goreng serta teh hangat. Lumayanlah, setidaknya bisa mengisi perut kami yang sudah mulai keroncogan. Setelah melaksanakan sholat maghrib dan sholat Isya', kami segera berkemas-kemas. Kumasukkan segala keperluan ke dalam tas carrier 75L ku. Tidak lupa kami berdo'a kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan keselamatan dalam pendakian kali ini. Setelah semuanyasudah beres, tiba-tiba hujan deras turun mengguyur kawasan lereng gunung Sumbing, hingga akhirnya kami harus menunda beberapa waktu untuk memulai langkah pendakian kali ini. 

Hampir satu jam lamanya kami harus menunggu hujan berhenti. Sekitar pukul 20.30 saat hujan sudah mulai berhenti, kami mulai bergerak dari basecamp Garung menyusuri jalanan menanjak menuju puncak gunung Sumbing. Jalan  menanjak serta licin harus kami lalui. Tanjakan-tanjakan curam harus kami lalui dengan sekuat tenaga, beberapa kali pun kami harus berhenti sejenak untuk sekedar menghela nafas yang sudah mulai ngos-ngosan. Hampir 2 jam lamanya kami berjalan menyusuri perkampungan penduduk, ladang sayur penduduk, serta hutan pinus, akhirnya setelah melawati sungai kecil kami sampai di Pos 1. Kami beristirahat sejenak di pos ini, sebelum melanjutkan perjalanan.

Brenjak dari pos 1, jalanan semakin menanjak seperti tidak memberikan ampun kepada kami, selain itu juga kami tidak mendapatkan bonus pendakian (jalanan landai). Kami pun terus berjalan beriringan di tengah hutan, dengan senter menempel di kepala kami. Cuaca dingin semakin menambah kenikmatan pendakian saat itu, belum lagi kabut yang sempat menyapa kami beberapa kali semakin mempertegas kepada kami, bahwa itu adalah gunung Sumbing yang sedang kami daki.

Beberapa kali anggota kami harus terpeleset, serta terpelanting karena jalanan yang licin serta terjal. Kami harus berjibaku dengan tanjakan-tanjakan maut ala gunung Sumbing, selain itu pun kami harus mengejar waktu agar bisa sampai target lokasi sesuai dengan rencana awal kami. Kurang lebih sudah 3 jam kami berjalan hingga kami pun saampai di pos 2. Setelah melalui pereundingan, kami memutuskan untuk nge-camp di pos 2, melihat kondisi yang sudah tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di pos 2, sudah ada beberapa pendaki yang sudah mendirikan tenda di lokasi tersebut. Kami mendapatkan sambutan hangat ala pendaki. Kehangatan antar pendaki inilah yang seringkali membuatku kangen serta ketagihan untuk kembali berpetualangan di gunung-gunung Indonesia.

Masih, tetap ditemani rintik gerimis saat kami mulai mendirikan tenda. Dengan cepat kami mendirikan tenda, tak lupa setelah tenda berdiri kami segera membuat minuman hangat untuk menghangatkan suhu tubuh kami yang sudah mulai kedinginan. Beberapa bekal yang kami bawa, satu persatu kami keluarkan. Seyelah kami memasak beberapa bahan makanan, kami pun menikmati sajian sederhana ala pendaki gunung sekedar untuk mengisi perut yang sudah mulai lapar lagi. Perut sudah terisi, badan pun sudah mulai merasakan sedikit kehangatan kami pun tertidur di tengah belantara gunung Sumbing. Sejenak kami berada di dunia berbeda yaitu dunia mimpi. 

Rencana awal kami ingin melanjutkan perjalanan setelah subuh. Akan tetapi situasi dan cuaca kembali tidak bersahabat kepada kami. Hujan kembali turun, kabut pun setia mengiringi turunnya hujan saat itu. Melihat kondisi di lapangan yang demikian, kami membuat ulang rencana selanjutnya, yaitu kalau sampai pukul 08.30 hujan belum reda maka dengan berat hati kami harus turun.

Di tengah dinginnya udara pagi waktu itu, beberapa pendaki lain yang juga sedang melakukan pendakian memutuskan kembali turun ke basecamp. Pendaki-pendaki yang baru turun dari atas, memberitahukan kepada kami bahwa kawasan puncak Sumbing kondisinya sedang extrem, kabut tebal serta hujan masih turun di sekitar pos 3 hingga kawasan puncak. Hal ini lah yang menyebabkan kami mengurungkan niat menggapai puncak. Walaupun sebenarnya, hatiku berat untuk ridak menyelesaikan misi pendakian kali ini. Namun, tetap satu yang menjadi peganganku, apapun yang terjadi keselamatan diri waktu mendaki adalah satu hal yang wajib dijaga. Di tengah kegalauan kami, Suhud memutuskan untuk naik ke puncak seorang diri. Sebenarnya kami sudah melarangnya, namun apa boleh buat dia tetap nekat. Berbekal 2 botol minuman serta beberapa potong roti di naik seorang diri. 

Setelaah dirasa kondisi sudah kondusif, kami akhirnya turun gunung. Suasanan turun kali ini sedikit berbeda, karena kami minus Suhud. Perasaanku mulai tidak enak, karena masih kepikiran Suhud yang sendirian naik ke atas. 2 ham berselang aku sampai di basecamp pertama kali. Sesampainya di basecamp, keluangkan waktu untuk melaksanakan sholat setelah sebulumnya bersih-bersih diri. Sambil menunggu teman-teman yang masih tertinggal di belakang, aku duduk di depan basecamp sambil menimmati suasana dingin ala daerah pegunungan. 

Satu persatu dari kami sampai juga di basecamp pendakian dengan beragam kondisi. Mulai dari baju yang rusuh karena terkena tanah dan sebagainya. Setelah semuanya berkumpul kami sedikit bersenda gurau sambil menunggu kedatangan Suhud. Kami pun menghabiskan beberapa piring nasi rames suguhan pak kadus Garung.

Selang 2 jam lamanya, akhirnya Suhud bisa sampai di basecamp. Sesampainya di basecamp, Suhud bercerita tentang pengalamannya di atas puncak. Hanya ada kabut serta angin badai di sana. Tidak hanya itu, dia pun bercerita tentang pertemuannya dengan sosok hantu manusia yang bertubuh besar di Pos 3 "Peken Setan (Pasar Setan)", hingga menyebabkannya harus terperosok dari bukit karena rasa takutnya. Beberapa luka gores ringan dirasakannya.

Dengan sampainya Suhud kembali ke basecamp pendakian, maka berakhir pula pendakian akhir tahun Mt. Sumbing 3371 Mdpl. Walaupun kami tidak bisa menggapai puncaknya, namun kami mendapatkan pembelajaran yang amat sangat luar biasa. Dan satu hal yang paling penting kami bisa selamat sampai kembali ke tempat kami masing-masing.

Satu pelajaran penting dalam pendakian; Alam kadang-kadang bisa memunculkan kemarahannya, kadang pula bisa menunjukkan persahabatannya. Tergantung bagaimana kita bersikap pada alam. Keegoisan diri seseorang dapat memberikan dampat buruk bagi dirinya sendiri. Kekompakan, kerjasama serta pengertian adalah kunci dalam menggapai tujuan bersama. dan terakhir, tetep cintai alam Indonesia dan lestarikan Alam Indonesia"
Salam Lestari, Salam Rimba !!!

"Terima Kasih Tuhan atas segala karunia yang telah Engkau berikan kepada kami"





















10 January 2014

REALITAS BUDAYA DAN AGAMA; WAYANG SEBAGAI MEDIA DAKWAH
Oleh : Saifudin elf

      PRE-FACE
Islam sudah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan.Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktiner, tetapi telah menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi dan bagian sah dari perkembangan dunia.
Mengkaji dan mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan interdisipliner.  Secara umum studi islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan dinamis serta eternal, untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan dunia modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Adapun kedatangan agama Islam ditanah Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam, akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.
A.   Sejarah Kemunculan Wayang
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat dominasi pertunjukan seperti dalam wayang purwa di Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali dan wayang banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam wayang orang peranan dalang tidak begitu menonjol.[1]
Berdasarkan berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa lampau di nusantara ini telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan atau jenis wayang. Sedemikian banyak jumlah wayang yang ada di nusantara.[2] Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara, khususnya di Jawa, wayang telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relief yang bisa kita jumpai di candi-candi seperti di Prambanan maupun Borobudur. Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu dipenuhi penonton.[3]
Sejumlah pendapat mengatakan bahwa wayang purwa merupakan bentuk seni pertunjukan wayang pertama kali di indonesia. Bentuk, macam dan atau jenis wayang yang lahir kemudian-seperti wayang madya, wayang gedong, wayang klitik-secara teknis, tertunjukannya selalu mengacu pada bentuk pertunjukan wayang kulit purwa; akibatnya, tidak mampu bersaing di masyarakat penggemar wayang.[4] Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Kakawin karya Mpu tantular dari zaman pemerintahan raja Airlangga dari jawa timur dalam abad ke-11, tertera dengan jelas sebuah inkripsi yang menyebutkan tahun 907 M tentang adanya wayang purwa.[5] Data yang ditemukan pada teks prasasti dari Raja Balitung pada awal abad ke-10 M, disebutkan istilah “mawayang bwat hyang” yang kurang lebih berarti pertunjukan wayang untuk hyang” (hyang=dewata). Perbedaan pendapat tentang kapan awal kemunculannya, wayang tetaplah sebuah bentuk karya seni manusia yang mengandung berbagai macam sejarah perkembangannya, dan memiliki berbagai macam kegunaan pertunjukan.[6]

B.   Jenis-Jenis Wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan, Sumatera dan lain-lainyya, baik masih populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam keputaskaan atau di museum-musem. Prof. Dr. L. Serrurier berdasarkan penelitian angket yang dilakukan di pulau Jawa, menghasilkan sebuah buku yang berjudul De Wajang Purwa. Dalam buku tersebut, disebutkan jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di Pulau Jawa, yaitu wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang jemblung, wayang kalithik (klithik), wayang karucil (kruvil), wayang legendaria, wayang lilingong, wayang lumping, wayang adya, wayang purwa, wayang sasak, wayang topeng, wayang pegon dan wayang wong.
Menurut jenis aktor dan aktrisnya, aneka ragam jenis wayang itu dapat diglongkan atas lima golongan, yaitu :[7]

1.     Wayang Kulit
Wayang  kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang  yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon), penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di layar.
Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

2.     Wayang Orang
Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong bahasa Jawa adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali pemain wayang orang ini diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau lukisan.

3.     Wayang Klitik (Kayu)
Wayang klitik (Jawa  wayang klithik) adalah wayang yang terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.
Repertoar cerita wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.


4.     Wayang Beber
Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata  maupun Ramayana.
Konon oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamentik yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh tokoh tambahan yang tidak ada pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India) diantaranya adalah Semar dan anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Perlu diketahui juga bahwa Wayang Beber pertama dan masih asli sampai sekarang masih bisa dilihat. Wayang Beber yang asli ini bisa dilihat di Daerah Pacitan, Donorojo, wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus dipelihara.Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.[8]

5.     Wayang Golek
Pelaku yang muncul di panggung adalah boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Jadi seolah-olah boneka tersbut mencerminkan seorang wujud manusia, yang dijudkan dalam sebuah tokoh boneka dengn ukuran kecil.[9]

C.   Penggunaan Wayang Sebagai Media Dakwah
Pada perkembangannya, wayang menjadi sebuah tontonan, yang juga sebagai tuntunan dipertontonkan di kalangan masyarakat pada upacara perayaan umum. Seperti pada saat, upacara tahunan meruwat desa (bersih desa), atau meruwat sumber air (bersih umbul), dan upacara-upacara tahunan yang dimaksud untuk meningkatkankan kesejahteraan umum (rasulan atau wilujengan).[10] Wayang (pada beber) sebagai sarana pertunjukan ritual, seperti ruwatan, kaulan, nadar, menyembuhkan penyakit, menolak gangguan magis, mitoni, sepasaran bayi, selapanan bayi, supitan, tetesan, perkawianan, minta hujan, panen, dan bersih desa. Keadaan ini masih berlangsung sampai sekitar tahun 1900, tetapi pada masa selanjutnya wayang beber sedikit-deni sedikit memudar dan masa kini menjadi angka.[11]
Tak hanya bentuk wayang saja yang dimodifikasi. Para wali penyebar Islam di Jawa pun mengubah cerita wayang dengan menyisipkan ajaran-ajaran dan pesan moral yang sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu contoh ajaran moral Islam yang terkandung dalam cerita wayang dapat kita jumpai pada tokoh Bima dalam lakon "Bima Suci".
Ajaran moral Islam yang terkandung dalam lakon "Bima Suci" dibagi ke dalam empat tahapan, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam lakon itu, Bima menjadi tokoh sentral yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya.
Dengan keyakinan itu, Bima kemudian mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Selain ajaran moral, lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertata krama.
Meski jalan cerita dalam lakon "Bima Suci" ini syarat dan kental dengan nilai keislaman, di sepanjang alur cerita tidak ditemui istilah-rstilah Arab. Menurut para sejarawan, inilah salah satu kepandaian yang dimiliki para Walisongo dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat.
Cara dakwah yang diterapkan para wali tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada pertentangan serta penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah Jawa. Penganut Islam kian hari kian bertambah, termasuk para penguasanya. [12]
Sama halnya dengan kebanyakan cerita wayang beber, yang pada zaman dahulu, kebanyakan memakai cerita purwa, yaitu mahabarata dan ramayana. Pada masa Islam, kemudian Sunan Bonang mengganti ceritera purwa, dengan ceritera gedhog (siklus panji).[13]
Wayang pun kian sering dipentaskan. Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun kerap menggelarnya. Karena banyak ajaran moral dan kebaikan dalam lakon-lakonnya yang bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan.
Selain dengan penggunaan wayang dalam bentuk aslinya, ternyata seiring dengan perkembangan daya kreatif menusia, dengan didukung perkembangan tekhnologi yang begitu pesat, kini terdapat varian-varian bentuk pertunjukan wayang, sebagai contoh kemunculan tokoh Si Unyil, seorang anak desa yang memiliki ide-ide cemerlang dalam menghadapi situasi lingkungan desanya. Kemudian dari tokoh Si Unyil muncul tokoh-tokoh populer seperti Pak Ogah, Pak Raden, Cuplis, Usro, Bu Bariah dll.[14] Hal ini menujukkan ternyata berawal dari sebuah kesenian masa lalu, yang kmudian dikemas dalam bentuk yang lebih menarik, sehingga dari sini minat masyarakat untuk kembali pada budaya masa lampau semain meningkat. Akhir-akhir dasa warsa ini juga dikejutkan dengan berb agai bentuk tontonan yang bergenre wayang orang, seperti, kemunculan ketoprak humor, srimulat, overa van java. Adalah salah satu fenomena mulai terangkatnya kembali sebuah bentuk pementasan wayang dengan dimensi yang berbeda.
Dan kini yang menjadi persoalan dari bentuk-bentuk fenomena wayang kontemporer tersebut, adalah agaimana seorang pembawa pesan misi keagamaan mapu untuk menerobos industri wayang kontemporer tersebut, untuk sedikit membelokkan gaya menceritakan sebuah lakon, menjadi penceritaan pesan dakwah dengan menggunakan lakon tersebut. fenomena tersebut dapat menjadi nilai tersendiri dan juga dapat menajdi peluang tersendiri ketika seorang/lembaga yang inging berdakwah dengan memanfaatkan euforia masyarakat akan fenomena wayang kontemporer.
Fenomena yang lain adalang kemunculan Ustadz Cepot, yang seyogyanya hanyalah sebuah tokoh wayang kontemporer, akan tetapi karena pengemasannya yang begitu dinamis, menyebabkan banyak yang menyukai gaya berdakwahnya. Kemudian kemunculan Ki Enthus yang dengan piawai menyampaikan dakwahnya melalui tokoh-tokoh wayang yang dibuatnya. Dengan gaya bahasa yang ringan, menghibur, namu inti dari pesan dakwahnya tidak lepas. Dan nyatanya, banyak sekali masyarakat yang mengapresiasi cara berdakwah beliau.
Dan terakhir, dari penulis memberi gambaran besar, bahwa sesungguhnya berdakwah dengan menggunakan wayang pada masa sekarang, adalah sebuah alternatif  penggunaan media dakwah.

D.   Dalang di Balik Pertunjukan Wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.[15]
1)      Dalam buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda, yang disusun oleh Yoyo Rismayan W dikatakan :
Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi    dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang  memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beranekaragam.
2)      Dalang berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal = mengucapkan; dan lang  kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasehat. Hal ini adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.
3)      Dalang berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat.
4)      Dalang berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini dalang bertugas sebagai penghubung/penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah kepada masyarakat, maupun sebaliknya.
5)      Dalang adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang. Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya : Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960.
6)      Dalang adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana   Barat juga).
7)      Dalang berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan/wejangan selama hidupnya. Di sini fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.[16]

Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya.[17]
Pada zaman dahulu, peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai dengan fungsi pewayangan sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk menyembah atau menghormati arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai penghubung antara manusia dengan jagat besar (makro-kosmos), antara komunitas dengan dunia spiritual. Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat dan kedudukan yang terhormat dalam kehidupan masyarakat.
Lalu bagaimana posisi dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi, meminjam istilah James L. Peacock dalam bukunya Rites of Modernization : Symbolic and Sosial Aspect of Indonesia Proletarian Drama, dalang pun mendapat peran baru yang tetap tidak menghilangkan pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial.
Sebagai seniman, dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni pedalangan, yang mencakup seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni suara, seni karawitan  dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang keahlian yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat tetapi mendasar (Haryanto, 1988), yaitu : Antawacana, Renggep, Enges, Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai melawak; Pandai amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi Radya, Faham Parama Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi Carita. [18]

    SIMPULAN
Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.
Adapun hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam di tanah Jawa itu tidak bisa lepas dari metode dakwah yang dipakai kala itu.Yang mana di dalam Al-Qur’an Allah SWT telah memberikan tuntunan dakwah yang baik-baik danbenar.
Berbagai fenomena telah terjadi di masyarakat indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan bentuk-bentuk pertunjukkan wayang kontemporer memberikan angin segar, akan perkembangan kesenian wayang, walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun untuk kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas. Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi salah satu alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa sekalian ikut melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi,
Saat ini, wayang diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang ataupun kritikus sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Giri Raharja, Reposisi Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Groenendael, Vicctoria M. Clara Van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dalang. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Kurniawan, Evan. Wayang, Media Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Murtiyoso, Bambang, dkk. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Etnika Surakarta.
Slamet  Mulyana, Dalang Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Suharyono, Bagyo. 2005. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Upanggah, Rahayu, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wayang Sebagai Media Dakwah, http://bataviase.co.id/node/507441, diakses tanggal 15 Nopember 2011

Catatan ; 
[1] Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. (Jakarta: UI Press, 1988), Hlm. 11

[2] Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta, 2004). Hlm. 1

[3] Evan Kurniawan, Wayang, Media Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15 Nopember 2011.

[4] Bambang Murtiyoso, dkk, Op. Cit, Hlm. 3

[5] Pandam Guritno, Op. Cit, Hlm. iii
[6] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009), Hlm. 49-50.

[7] Ibid, Hlm. 11-13
[8] Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15 Nopember 2011.

[9] Pandam Guritno, Op. Cit, Hlm. 12
[10] Vicctoria M. Clara Van Groennendael, Dalang di Balik Wayang, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), Hlm. 189.

[11]  Bagyo Suharyono, Wayang Beber Wonosari,  Wonogiri: Bina Citra Pustaka, 2005), Hlm. 4-5
[12] Wayang Sebagai Media Dakwah, http://bataviase.co.id/node/507441, diakses tanggal 15 Nopember 2011

[13] Bagyo Suharyono, Op. Cit, Hlm. 2-3

[14] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009), Hlm. 174
[15] http://id.wikipedia.org/wiki/Dalang. Diakses tanggal 15 Januari 2012

[16] Giri Raharja, Reposisi Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012


[17] Groenendael, Vicctoria M. Clara Van. Op.Cit, hlm 189

[18] Slamet  Mulyana, Dalang Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses tanggal 15 Januari 2012

Welcome

Selamat Datang,
Selamat berkunjung di webblog milik Saifudin Elf, sebuah catatan sederhana dari sebuah proses dinamika berfikir, merangkai, dan menyusun kata.
"tak ada sejarah yang terukir tanpa tulisan, tak ada dokumentasi seindah lukisan Tuhan"
dengan motto tersebut, ku coba untuk menuangkan segala hasil pemikiran, jejak kaki, dan perjalanan hidup melalui webblog sederhana ini.
Kritik dan saran sangat saya harapkan,
Kritik dan saran Hubungi :
Saifudin ELF SMS/Call : 085740951321
Email : iffudz.saifudin@gmail.com
Twitter : @saifudinelf
Best Regard,
-saifudin elf-

Categories

Powered by Blogger.

Followers

Visitor


Blog Archive

Contact us

Name

Email *

Message *

Business

Instagram