BATASKU
Oleh; Saifudin elf
“Ayo semangat dek, keterbatasanmu bukan menjadi alasan untukmu menjadi
lemah ” kata yang terakhir kali aku dengar sebelum kematiannya. Rudi memang
salah seorang seniorku yang pernah aku idolakan saat aku menjadi mahasiswa
baru. Dengan perawakan yang tinggi tegap. Paras wajahnya pun juga sedikit
bercahaya, ketimbang beberapa seniorku yang lainya.
Hingar-bingar kehidupan kampus sebuah perguruan tinggi nampak sekali
mengerikan dalam fikiranku. Entah apa yang membuat seperti ini? Tapi itulah
diriku yang selalu merasa asing dan takut saat memasuki dunia baru.
“Kamu masuk PTAI (perguruan tinggi agama Islam) yang ada di semarang
saja ya nak”, Ucap ibuku kepada diriku di suatu sore.
“Tapi, aku tidak ada minat di PTAI. Apalagi di Semarang, aku ingin sekali
kuliah di Surakarta buk”, jawabku dengan penuh pengharapan.
“Iya nak, ibu faham. Kamu memang boleh punya keinginan. Tapi kamu juga
harus ingat, ibumu ini siapa nak? Pekerjaannya apa nak?”, sahut ibuku
berikutnya.
Sejak perbincanganku dengan ibuku di sore itu. Kulalui hari-hariku
dengan selalu merenung. Merenung untuk mencari sebuah jalan keluar. Hingga
akhirnya aku pun bisa menerima keinginan ibuku. Walaupun itu berat, tapi itu
sudah menjadi sebuah keputusan.
Suara bising kendaraan bermotor menyapaku di pagi itu. Pagi dimana aku
akan memulai langkah yang menurutku besar. Yah, tentu saja karena hari
itu, hari dimana diriku akan melakukan pendaftaran ke salah satu PTAI di Kota
Semarang.
Udara pagi di kampung halamanku, di sudut Kota Kendal masih terasa sangat
segar saat aku keluar dari rumah Ibuku. Setelah sebelumnya kusempatkan untuk
menghubungi salah seorang kawanku yang juga sama-sama akan mendaftar di salah
satu PTAIN di Kota Semarang.
“Ketemuan dimana bro?”, tulisku melalui pesan singkat SMS (Short
Message System)
“Ketemu di Alun-alun kota saja”, balas Umar, temanku waktu di bangku
SMA.
Kususuri jalanan yang cukup panjang, untukku bisa sampai di alun-alun
kota. Benar saja, si Umar ternyata sudah stand by di alun-alun kota.
Wajar saja, mengingat rumah Umar yang tidak jauh dari alun-alun kota. Kutemui
Umar yang nampak sudah lama menunggu kehadianku.
“Gimana Mar, yakin daftar di PTAI Semarang”, tanyaku pada Umar.
“Iya Ud, aku sudah yakin. Mungkin ini sudah menjadi jalanku Ud”,
jawabnya mantap.
Mendengar jawaban Umar, aku pun hanya bisa tertegun. Kenapa Umar bisa
seyakin itu mendaftarkan diri di PTAI Semarang. Rasa iri pun menggeliat di
dalam diriku. Aku yang belum bisa menerima keputusan ini, berbanding terbalik
dengan Umar yang telah menyakini bahwa ini adalah jalannya.
Dalam perjalanan dari alun-alun kota menuju lokasi PTAI Semarang, hanya
baying-bayang kata-kata Umar tadi yang selalu berputar-putar dalam fikiranku. Hingga
tanpa sadar ternyata tubuhku sudah berada di depan gedung pendaftaran PTAIN
Semarang.
“Selamat datang dek di kampus hijau”, ujar salah seorang mahasiswa
senior yang nampak begitu ramah, menghampiri diriku yang terlihat kebingungan.
“Iya mbak terimakasih”, ujarku singkat.
“Namanya siapa dek ?”, tanyanya mencoba akrab.
“Namaku Mahmud mbak”, jawabku keheranan.
“Oh iya dek, kakak namanya Santi mahasiswa semester 3 Pendidikan Kimia”,
ucapnya memperkenalkan diri.
Senyum manis, nampak dalam raut perempuan yang sudah berstatus mahasiswa
di PTAI Semarang. Kesan pertama yang menurutku, kesan yang cukup menarik. Bayang-bayang
akan kejamnya Perguruan Tinggi, sedikit terkikis dengan perjumpaanku pada
perempuan itu.
Aku dan Umar setibanya di gedung pendaftaran, segera melakukan
registrasi awal dengan menyerahkan beberapa uang rupiah pecahan seratus ribu
dan lima puluh ribu. Kudapatkanlah formulir pendaftaran begitu uang sudah
diterima bagian registrasi. Kota-kotak serta kolom-kolom yang tertera di
formulir pendaftaran tersebut sedikit meembingunkan diriku. Sontak perempuan
yang mengaku bernama Santi yang sempat menyapaku di awal kedatanganku, bersedia
untuk menuntunku diriku mengisi setiap isian yang ada dalam formulir tersebut.
“Sudah selesaikah formulir itu kamu isi mar?”, tanyaku kepada Umar.
“Sebentar lagi selesai Ud. Kamu memilih program studi apa saja Ud”,
lanjut Umar
“Aku mengambil prodi Ilmu Komunikasi Islam dan Pendidikan Biologi”,
jawabku singkat.
“Kalau aku ngambil Ekonomi Islam dan Pendidikan Bahasa Arab”,
sahut Umar sambil menunjukkan formulir pendaftarannya.
“Aisshh, mau jadi Pak Yai ya mar”, ledekku pada Umar
disertai dengan tawa menggelegar.
Bayang-bayang prosesi awal pendaftaran kuliah masih saja teringat dalam
benakku hingga tiba akhirnya pengumuman kelulusan seleksi penerimaan mahasiswa
baru. Ku lihat secara seksama setiap nomor pendaftaran yang terpampang di papan
pengumuman kampus PTAI Semarang. Kulihat di semua fakultas dan semua program
studi, hingga kutemukan nomor pendaftaranku tertera di barisan calon mahasiswa
baru pada program studi Ilmu Komunikasi Islam.
Melihat papan pengumuman tersebut, aku hanya bisa tertegun. “What, it
is my Way ?” serasa belum mampu untuk menerima kenyataan seperti ini.
Kutinggalkan lokasi kampus dengan kepela tertunduk lesu. Mencoba meratapi apa
yang baru saja aku terima. Yah, kenyataan diterima di PTAI Semarang.
Gerbang Baru,
“Ayo adek-adek baris yang rapi ya, sesuaikan barisan dengan kelompok
masing-masing”. Instruksi salah seorang panitia Orientasi Mahasiswa Baru.
“Ya Tuhan, kutakan hamba memasuki dunia baru ini, memasuki gerbang baru
ini dengan keterbatasanku, dengan kecacatan tubuhku ini Tuhan”. Gumamku meminta
kepada Tuhan.
“Mas’ud, kamu masuk kelompok 12 Fatimah Mernissi yah”. Ucap salah
seorang panitia yang belum ku kenal namanya.
Perlahan-lahan, semua mahasiswa baru memasuki Aula PTAI yang nampak
begitu besar dan luas. Terlihat beberapa panitia di depan pintu masuk dengan
wajah yang sedikit songkak. Aku bersama 1.200 mahasiswa baru yang
lainnya kini telah berada di dalam aula. Suasana Ramadhan waktu itu tidak
menyurutkan semangatku untuk memulai proses awal di kehidupan kampus.
Dengan seksama ku dengarkan semua materi serta penjelasan dalam rangka
kegiatan Orientasi Mahasiswa baru. Mengenakan baju kemeja berwarna putih polos,
celana panjang warna hitam, dasi hitam serta sepatu hitam. Itulah diriku
bersama mahasiswa baru lainnya sebagai tanda peserta orientasi mahasiswa baru.
Di tengah keramaian serta hiruk pikuk kegiatan orientasi mahasiswa baru,
aku hanya dapat tertegun emncoba untuk terus tegar. Apakah nantinya aku mampu
mebaur dengan mereka, yang lebih sempurna daripada aku. Hingga tibalah saatnya
diriku mengikuti prosesi orientasi di tingkatan Fakultas. Kali ini, hanya
bersama 190 mahaiswa baru lainnya yang satu fakultas denganku. Maklum saja,
Fakultas yang kuambil memang bukan Fakultas unggulan, yang sangat minim
peminat.
“Ayo dek cepat, kamu masuk kelompok 8”. Ucap mbak Mega, seniorklu
sekaligus penanggungjawab kelompokku.
“Iya mbak”. Jawabku singkat.
“Kamu tidak usah minder seperti itu dek, santai saja. Toh, kita
semua juga pernah mengalami proses sepertimu”, kata mbak Mega kepadaku.
Di tengah-tengah perbincanganku dengan mbak Mega, ada instruksi dari
panitia orientasi mahasiswa baru tingkat fakultas.
“Setiap kelompok silahkan membuat yel-yel masing-masing, jangan
lupa lusa, teman-teman harus susah hafal dengan yel-yel kelompok
masing-masing. Mengerti?” Ucap kak Rudi di depan podium.
“Mengerti kak”, jawab kami serentak.
Namun, keserentakan jawaban kami tidak berlaku dalam benakku.
Bayang-bayang sakit hati yang pernah kualami waktu SMP dulu, masih menyisakan
sakit yang mendalam. Tak pelak, aku pun hanya dapat terdiam dalam setiap kali
ada perkumpulan kelompok, perkumpulan jurusan, yang jika aku lihat
teman-temanku terlihat begitu berbeda dengan diriku.
“Dek, kamu kenapa?” Tanya kak Rudi pada diriku.
“Tidak apa-apa kak”, jawabku singkat.
“Kok, kamu diam saja. Terus kamu juga jarang terlihat kumpul dengan
teman-teman satu kelompokmu terus juga jarang ngumpul dengan teman satu
jurusanmu”, Tanya kak Rudi lagi kepadaku.
Belum sempat ku jawab pertanyaan kak Rudi. Kak Rudi sudah memberondong
lagi beberapa pertanyaan kepadaku.
“Kalau ada apa-apa, ceritalah sama kakak. Kalau bisa bantu pasti kakak
bantu”, lanjut kak Rudi.
Aku pun hanya terdiam.
“Dek, dek, kamu masih sadar kan”, kata kak Rudi.
“Iya kak, aku masih sadar”, aku terbangun dalam lamunaku.
Akhirnya aku pun menceritakan semuanya kepada kak Rudi. Dari awal sampai
detik itu juga apa yang pernah kualami. Dengan wajah yang terlihat tegar kak
Rudi hanya bisa tersenyum melihat diriku bercerita kepadanya.
“Ayo semangat dek, keterbatasanmu bukan menjadi alasan untukmu menjadi
lemah ”, ucap kak Rudi setelah aku selesai bercerita kepadanya.
Kata-kata yang menjadi penyemangat dalam hidupku. Pertemuan serta
percakapan itulah yang menjadi pertemuan dan percakapan terakhirku dengan kak
Rudi. Karena 2 hari sejak moment itu kak Rudi terlibat dalam kecelakan maut di
depan gerbang kampus, yang menyebabkan kak Rudi mengalami gegar otak dan
akhirnya meninggal dunia.
Kabar kematian kak Rudi, sangat memilukan bagiku. Sosok yang sempat
menjadi penerang jalanku, kini telah tiada. Sosok yang pernah memberikanku
semangat untuk terus melangkah, kini hanya menyisakan kerinduanku kepadanya.
“Terima kasih kak Rudi, semoga Tuhan memberikan tempat yang mulia di
sisi-Nya”, pintaku kepada Tuhan.
Sejak saat itu, perlahan-lahan aku mulai bangkit dari keterpurukanku. Ku
coba untuk terus menjalani proses yang begitu keras. Ku coba untuk menjalin
komunikasi dengan teman-temanku. Hingga akhirnya aku bisa menjadi seperti
sekarang ini.
“Keterbatasan bukan menjadi penghalang diriku, buakn menjadi alas an
untuk menjadi lema”, kata-kata yang selalu kujadikan pemacu dalam setiap
langkahku.
Selamat jalan kak Rudi, jasamu kepadaku tak akan kulupakan.
Semarang, 2 – 6 Juli 2013
Di ruang kenangan
aku suka ceritanya. sederhana tapi menyentuh
ReplyDeletemakasih sist, masih belajar nulis
ReplyDeletehehehe,, :)