PRE-FACE
Islam sudah menjadi kajian yang
menarik minat banyak kalangan.Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam
tidak lagi dipahami hanya dalam pengertian historis dan doktiner, tetapi telah
menjadi fenomena yang kompleks. Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian
petunjuk formal tentang bagaimana seorang individu harus memaknai kehidupannya.
Islam telah menjadi sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi
dan bagian sah dari perkembangan dunia.
Mengkaji dan mendekati Islam, tidak
lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya dibutuhkan metode dan pendekatan
interdisipliner. Secara umum studi
islam bertujuan untuk menggali kembali dasar-dasar dan pokok-pokok ajaran Islam
sebagaimana yang ada dalam sumber dasarnya yang bersifat hakiki, universal dan
dinamis serta eternal, untuk dihadapkan atau dipertemukan dengan budaya dan
dunia modern, agar mampu memberikan alternatif pemecahan permasalahan yang
dihadapi oleh umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Adapun kedatangan agama Islam ditanah
Jawa telah menimbulkan perubahan kebudayaan yang melekat pada masyarakat Jawa.
Perubahan yang terjadi bukan semata-mata karena perombakan oleh dunia Islam,
akan tetapi karena adanya toleransi dari Islam untuk mengakulturasikan budaya
yang telah ada. Sejarah telah mengatakan bahwa akulturasi yang mendorong
perkembangan Islam di Jawa adalah Wayang.
A.
Sejarah
Kemunculan Wayang
Arti harfiah dari
wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah,
dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula
berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan
panggung di mana sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dengan sandiwara atau
film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam
pertunjukan wayang dikenal dengan dalang, yang peranannya dapat dominasi pertunjukan
seperti dalam wayang purwa di Jawa, wayang purwa atau wayang ramayana di Bali
dan wayang banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam wayang orang peranan
dalang tidak begitu menonjol.[1]
Berdasarkan
berbagai sumber, baik tertulis maupun lisan, di masa lampau di nusantara ini
telah tumbuh dan berkembang berbagai macam dan atau jenis wayang. Sedemikian
banyak jumlah wayang yang ada di nusantara.[2] Sebelum Islam masuk ke tanah Nusantara, khususnya di Jawa, wayang
telah menemukan bentuknya. Bentuk wayang pada awalnya menyerupai relief yang
bisa kita jumpai di candi-candi seperti di Prambanan maupun Borobudur.
Pagelaran wayang sangat digemari masyarakat. Setiap pementasannya selalu
dipenuhi penonton.[3]
Sejumlah pendapat
mengatakan bahwa
wayang purwa merupakan bentuk seni pertunjukan wayang pertama kali di
indonesia. Bentuk, macam dan atau jenis wayang yang lahir kemudian-seperti
wayang madya, wayang gedong, wayang klitik-secara teknis, tertunjukannya selalu
mengacu pada bentuk pertunjukan wayang kulit purwa; akibatnya, tidak mampu
bersaing di masyarakat penggemar wayang.[4]
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Kakawin karya Mpu tantular dari zaman
pemerintahan raja Airlangga dari jawa timur dalam abad ke-11, tertera dengan
jelas sebuah inkripsi yang menyebutkan tahun 907 M tentang adanya wayang purwa.[5] Data yang ditemukan pada teks prasasti dari Raja
Balitung pada awal abad ke-10 M, disebutkan istilah “mawayang bwat hyang” yang kurang lebih berarti “pertunjukan wayang untuk
hyang” (hyang=dewata). Perbedaan
pendapat tentang kapan awal kemunculannya, wayang tetaplah sebuah bentuk karya
seni manusia yang mengandung berbagai macam sejarah perkembangannya, dan
memiliki berbagai macam kegunaan pertunjukan.[6]
B.
Jenis-Jenis Wayang
Di Indonesia
terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau Jawa, Bali, Lombok,
Kalimantan, Sumatera dan lain-lainyya, baik masih populer maupun yang hampir
atau sudah punah dan hanya dikenal dalam keputaskaan atau di museum-musem.
Prof. Dr. L. Serrurier berdasarkan penelitian angket yang dilakukan di pulau
Jawa, menghasilkan sebuah buku yang berjudul De Wajang Purwa. Dalam buku tersebut, disebutkan jenis-jenis wayang
yang pada masa itu dikenal di Pulau Jawa, yaitu wayang beber, wayang gedog,
wayang golek, wayang jemblung, wayang kalithik (klithik), wayang karucil
(kruvil), wayang legendaria, wayang lilingong, wayang lumping, wayang adya,
wayang purwa, wayang sasak, wayang topeng, wayang pegon dan wayang wong.
Menurut jenis aktor
dan aktrisnya, aneka ragam jenis wayang itu dapat diglongkan atas lima
golongan, yaitu :[7]
1.
Wayang Kulit
Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang
terutama berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang
juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik
gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang
memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain
putih, sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak
(blencong), sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat
melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang(lakon),
penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya
tampil di layar.
Secara umum
wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana, tetapi tak
dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa juga memainkan
lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.
2.
Wayang Orang
Wayang
orang disebut juga dengan istilah wayang wong bahasa Jawa adalah wayang yang
dimainkan dengan menggunakan orang sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut.
Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi dipergelarkan
dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit yang biasanya terbuat dari
bahan kulit kerbau ataupun yang lain), akan tetapi menampilkan manusia-manusia
sebagai pengganti boneka-boneka wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti
hiasan-hiasan yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun
muka mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali
pemain wayang orang ini diubah/ dihias mukanya dengan tambahan gambar atau
lukisan.
3.
Wayang Klitik (Kayu)
Wayang klitik
(Jawa wayang klithik) adalah wayang yang
terbuat dari kayu. Berbeda dengan wayang golek yang mirip dengan boneka, wayang
klitik berbentuk pipih seperti wayang kulit.
Repertoar cerita
wayang klitik juga berbeda dengan wayang kulit. Di mana repertoar cerita wayang
kulit diambil dari wiracarita Ramayana dan Mahabharata, repertoar cerita wayang
klitik diambil dari siklus cerita Panji dan Damarwulan.
4.
Wayang Beber
Wayang Beber
adalah seni wayang yang muncul dan berkembang di Jawa pada masa pra Islam dan
masih berkembang di daerah daerah tertentu di Pulau Jawa. Dinamakan wayang
beber karena berupa lembaran lembaran (beberan) yang dibentuk menjadi tokoh
tokoh dalam cerita wayang baik Mahabharata
maupun Ramayana.
Konon
oleh para Wali di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang beber ini dimodifikasi
bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk bentuk yang bersifat ornamentik yang
dikenal sekarang, karena ajaran Islam mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup
(manusia, hewan) maupun patung serta diberi tokoh tokoh tambahan yang tidak ada
pada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India) diantaranya adalah Semar dan
anak-anaknya serta Pusaka Hyang Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang digunakan
untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang. Perlu diketahui
juga bahwa Wayang Beber pertama dan masih asli sampai sekarang masih bisa
dilihat. Wayang Beber yang asli ini bisa dilihat di Daerah Pacitan, Donorojo,
wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun dipercaya
memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari keturunan yang berbeda
karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat luhur yang harus
dipelihara.Selain di Pacitan juga sampai sekarang masih tersimpan dengan baik
dan masing dimainkan ada di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo
Gunungkidul.[8]
5.
Wayang Golek
Pelaku yang muncul
di panggung adalah boneka-boneka tiga dimensi yang terbuat dari kayu. Jadi
seolah-olah boneka tersbut mencerminkan seorang wujud manusia, yang dijudkan
dalam sebuah tokoh boneka dengn ukuran kecil.[9]
C.
Penggunaan Wayang Sebagai Media Dakwah
Pada
perkembangannya, wayang menjadi sebuah tontonan, yang juga sebagai tuntunan
dipertontonkan di kalangan masyarakat pada upacara perayaan umum. Seperti pada
saat, upacara tahunan meruwat desa (bersih
desa), atau meruwat sumber air (bersih
umbul), dan upacara-upacara tahunan yang dimaksud untuk meningkatkankan
kesejahteraan umum (rasulan atau wilujengan).[10] Wayang (pada
beber) sebagai sarana pertunjukan ritual, seperti ruwatan, kaulan, nadar, menyembuhkan penyakit, menolak gangguan
magis, mitoni, sepasaran bayi, selapanan
bayi, supitan, tetesan, perkawianan, minta hujan, panen, dan bersih desa. Keadaan ini masih
berlangsung sampai sekitar tahun 1900, tetapi pada masa selanjutnya wayang
beber sedikit-deni sedikit memudar dan masa kini menjadi angka.[11]
Tak hanya bentuk wayang saja yang
dimodifikasi. Para wali penyebar Islam di Jawa pun mengubah cerita wayang
dengan menyisipkan ajaran-ajaran dan pesan moral yang sesuai dengan ajaran
Islam. Salah satu contoh ajaran moral Islam yang terkandung dalam cerita wayang
dapat kita jumpai pada tokoh Bima dalam lakon "Bima Suci".
Ajaran moral Islam yang terkandung
dalam lakon "Bima Suci" dibagi ke dalam empat tahapan, yakni syariat,
tarekat, hakikat, dan makrifat. Dalam lakon itu, Bima menjadi tokoh sentral
yang meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itulah yang menciptakan dunia
dan segala isinya.
Dengan keyakinan itu, Bima kemudian
mengajarkan kepada saudaranya, Janaka. Selain ajaran moral, lakon ini juga
berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan
bertata krama.
Meski jalan cerita dalam lakon
"Bima Suci" ini syarat dan kental dengan nilai keislaman, di
sepanjang alur cerita tidak ditemui istilah-rstilah Arab. Menurut para
sejarawan, inilah salah satu kepandaian yang dimiliki para Walisongo dalam
mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat.
Cara dakwah yang diterapkan para wali
tersebut terbukti efektif. Masyarakat menerima ajaran Islam tanpa ada
pertentangan serta penolakan. Ajaran Islam tersebar hampir di seluruh tanah
Jawa. Penganut Islam kian hari kian bertambah, termasuk para penguasanya. [12]
Sama halnya dengan
kebanyakan cerita wayang beber, yang pada zaman dahulu, kebanyakan memakai
cerita purwa, yaitu mahabarata dan ramayana. Pada masa Islam, kemudian
Sunan Bonang mengganti ceritera purwa, dengan ceritera gedhog (siklus panji).[13]
Wayang pun kian sering dipentaskan.
Tak hanya pada upacara-upacara resmi kerajaan, masyarakat secara umum pun kerap
menggelarnya. Karena banyak ajaran moral dan kebaikan dalam lakon-lakonnya yang
bisa menjadi tuntunan dalam kehidupan.
Selain dengan
penggunaan wayang dalam bentuk aslinya, ternyata seiring dengan perkembangan
daya kreatif menusia, dengan didukung perkembangan tekhnologi yang begitu
pesat, kini terdapat varian-varian bentuk pertunjukan wayang, sebagai contoh
kemunculan tokoh Si Unyil, seorang anak desa yang memiliki ide-ide cemerlang
dalam menghadapi situasi lingkungan desanya. Kemudian dari tokoh Si Unyil
muncul tokoh-tokoh populer seperti Pak Ogah, Pak Raden, Cuplis, Usro, Bu Bariah
dll.[14] Hal ini menujukkan
ternyata berawal dari sebuah kesenian masa lalu, yang kmudian dikemas dalam
bentuk yang lebih menarik, sehingga dari sini minat masyarakat untuk kembali
pada budaya masa lampau semain meningkat. Akhir-akhir dasa warsa ini juga
dikejutkan dengan berb agai bentuk tontonan yang bergenre wayang orang,
seperti, kemunculan ketoprak humor, srimulat, overa van java. Adalah salah satu
fenomena mulai terangkatnya kembali sebuah bentuk pementasan wayang dengan
dimensi yang berbeda.
Dan kini yang
menjadi persoalan dari bentuk-bentuk fenomena wayang kontemporer tersebut,
adalah agaimana seorang pembawa pesan misi keagamaan mapu untuk menerobos
industri wayang kontemporer tersebut, untuk sedikit membelokkan gaya
menceritakan sebuah lakon, menjadi penceritaan pesan dakwah dengan menggunakan
lakon tersebut. fenomena tersebut dapat menjadi nilai tersendiri dan juga dapat
menajdi peluang tersendiri ketika seorang/lembaga yang inging berdakwah dengan
memanfaatkan euforia masyarakat akan
fenomena wayang kontemporer.
Fenomena yang lain
adalang kemunculan Ustadz Cepot, yang
seyogyanya hanyalah sebuah tokoh wayang kontemporer, akan tetapi karena
pengemasannya yang begitu dinamis, menyebabkan banyak yang menyukai gaya
berdakwahnya. Kemudian kemunculan Ki
Enthus yang dengan piawai menyampaikan dakwahnya melalui tokoh-tokoh wayang
yang dibuatnya. Dengan gaya bahasa yang ringan, menghibur, namu inti dari pesan
dakwahnya tidak lepas. Dan nyatanya, banyak sekali masyarakat yang
mengapresiasi cara berdakwah beliau.
Dan terakhir, dari
penulis memberi gambaran besar, bahwa sesungguhnya berdakwah dengan menggunakan
wayang pada masa sekarang, adalah sebuah alternatif penggunaan media dakwah.
D.
Dalang di Balik Pertunjukan Wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai
seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari
bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang
akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan
mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata
panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang
ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.[15]
1)
Dalam
buku Tuntunan Praktek Pedalangan Wayang Golek Purwa Gaya Sunda, yang disusun
oleh Yoyo Rismayan W dikatakan :
Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beranekaragam.
Dalang asal kata dari dalung/blencong/lampu = alat penerang. Dengan alasan demikian, maka fungsi dalang dalam masyarakat adalah sebagai juru penerangan, atau lebih tegasnya dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi masyarakat yang tingkatan sosialnya beranekaragam.
2)
Dalang
berasal dari kata : dal adalah kependekan dari kata ngudal = mengucapkan; dan
lang kependekan dari kata piwulang = piwuruk = petuah/nasehat. Hal ini
adalah mitologi rakyat. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah
orang yang memberi nasehat/petuah. Di sini fungsi dalang adalah sebagai
pendidik/pembimbing masyarakat atau guru masyarakat.
3)
Dalang
berasal dari kata da = veda = pengetahuan dan lang = wulang. Dalang adalah
pengetahuan mengajar, di sini dalang dapat diartikan sebagai guru masyarakat.
4)
Dalang
berasal dari kata talang = alat penghubung untuk mengalirkan air. Dalam hal ini
dalang bertugas sebagai penghubung/penyambung lidah, baik pesan dari pemerintah
kepada masyarakat, maupun sebaliknya.
5)
Dalang
adalah pemimpin, penyusun naskah, produser, juru cerita dan memainkan wayang.
Pendapat ini dikemukakan oleh Claere Holt (seorang sarjana Barat) dalam bukunya
: Art In Indonesia Continintees, and Change, 1960.
6)
Dalang
adalah seniman pengembara, sebab apabila mengadakan pementasan tidak hanya di
satu tempat, tapi berpindah-pindah. Menurut Drs. Sudarsono, pendapat ini
dikemukakan oleh Hazou (seorang sarjana Barat juga).
7)
Dalang
berasal dari kata dal = dalil-dalil, dan lang = langgeng. Ini adalah pendapat
seorang dalang kasepuhan dari Kecamatan Ciledug Kabupaten Cirebon, yang bernama
Dulah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa dalang adalah seorang yang memberi
dalil-dalil atau petuah-petuah/wejangan/wejangan selama hidupnya. Di sini
fungsi dalang adalah sebagai pendidik/pembimbing masyarakat atau guru
masyarakat.[16]
Dalam pagelaran wayang, dalang menempati peran dan posisi yang sangat
sentral. Ungkapan Jawa dhalange mangkel, wayange dipendem menunjukkan
betapa besar peranan dalang dalam pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara
sekaligus tokoh utama dalam pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk)
yang mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan
yang mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang
atau pelaku-pelaku manusianya.[17]
Pada zaman dahulu,
peranan dalang tidak terbatas sampai disitu. Sesuai dengan fungsi pewayangan
sebagai upacara ritual dan keagamaan, yaitu untuk menyembah atau menghormati
arwah leluhur, dalang pun dipandang sebagai penghubung antara manusia dengan
jagat besar (makro-kosmos), antara komunitas dengan dunia spiritual.
Oleh karenanya, dalang mempunyai tempat dan kedudukan yang terhormat dalam
kehidupan masyarakat.
Lalu bagaimana posisi
dan peranan dalang saat ini? Sesuai dengan perubahan dan perkembangan wayang
yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi, meminjam istilah James
L. Peacock dalam bukunya Rites of Modernization : Symbolic and Sosial
Aspect of Indonesia Proletarian Drama, dalang pun mendapat peran baru yang
tetap tidak menghilangkan pamornya di masyarakat. Saat ini, wayang diharapkan
menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi dan ide-ide
baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan sifat
pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang sebagai
figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai peranan,
sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru penerang
ataupun kritikus sosial.
Sebagai seniman,
dalang dituntut penguasaannya atas unsur-unsur seni pedalangan, yang mencakup
seni drama, seni rupa, seni kriya, seni sastra, seni suara, seni
karawitan dan seni gaya. Dalang pun harus menguasai 12 bidang keahlian
yang merupakan persyaratan klasik tradisional yang sangat berat tetapi mendasar
(Haryanto, 1988), yaitu : Antawacana, Renggep, Enges,
Tutug, Pandai dalam sabetan, Pandai melawak; Pandai
amardawa lagu, Pandai amardi basa, Faham Kawi Radya, Faham Parama
Kawi, Faham Parama Sastra, dan Faham Awi Carita. [18]
SIMPULAN
Akulturasi budaya masyarakat Jawa dengan ajaran Islam telah
menghasilkan terobosan jalan baru untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan
keadaan geografis dan sosiologis yang ada. Sementara itu, pandangan Islam terhadap budaya
Wayang adalah salah satu budaya pemula yang mampu diakulturasikan sehingga
mampu memasukkan Islam ditanah Jawa. Dan juga dengan adanya akulturasi budaya
tersebut generasi sekarang ini diharapkan agar mampu mengambil I’tibar dari
perjuangan para ulama terdahulu dalam penyampaian misi dakwah islaminya.
Adapun hasil sukses
yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam di tanah Jawa itu tidak
bisa lepas dari metode dakwah yang dipakai kala itu.Yang mana di dalam
Al-Qur’an Allah SWT telah memberikan tuntunan dakwah yang baik-baik danbenar.
Berbagai fenomena
telah terjadi di masyarakat indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa kemunculan
bentuk-bentuk pertunjukkan wayang kontemporer memberikan angin segar, akan
perkembangan kesenian wayang, walaupun sebenarnya itu semua sudah keluar dari pakem pewayangan, namun untuk
kepentingan yang lebih besar hal tersebut bisa diterima oleh masyarakat luas.
Dan untuk perkembangan dunia dakwah, hal tersebut juga bisa menjadi salah satu
alternatif media dakwah yang bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan
dakwah. Selain kita menggemakan gerakan dakwah, juga bisa sekalian ikut
melestarikan kebudayaan bangsa, berupa kesenian wayang.
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai
seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Dalam pagelaran wayang, dalang
menempati peran dan posisi yang sangat sentral. Ungkapan Jawa dhalange
mangkel, wayange dipendem menunjukkan betapa besar peranan dalang dalam
pagelaran wayang. Dalang merupakan sutradara sekaligus tokoh utama dalam
pagelaran. Ia adalah penutur kisah, penyanyi lagu (suluk) yang
mengajak memahami suasana pada saat-saat tertentu, pemimpin suara gamelan yang
mengiringi, dan di atas segalanya, dalang merupakan pemberi jiwa pada wayang
atau pelaku-pelaku manusianya. Sesuai dengan perubahan dan
perkembangan wayang yang saat ini telah beralih menjadi upacara modernisasi,
Saat ini, wayang
diharapkan menjadi sarana komunikasi yang dapat menyampaikan konsepsi-konsepsi
dan ide-ide baru yang sesuai dengan gerak langkah pembangunan. Sesuai dengan
sifat pagelaran wayang yang multi-dimensional, maka para dalang
sebagai figur utama dan sentral, sudah sewajarnya dapat tampil dalam berbagai
peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat, penghibur, juru
penerang ataupun kritikus sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Giri Raharja, Reposisi
Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Groenendael, Vicctoria M.
Clara Van. 1987. Dalang di Balik
Wayang. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila.
Jakarta: UI Press.
http://id.wikipedia.org/wiki/Dalang. Diakses tanggal 15 Januari 2012
Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Kurniawan, Evan. Wayang, Media
Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15 Nopember 2011
Murtiyoso, Bambang, dkk.
2004. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Etnika Surakarta.
Slamet
Mulyana, Dalang Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses
tanggal 15 Januari 2012
Suharyono, Bagyo. 2005. Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.
Upanggah, Rahayu, dkk.
2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia :
Seni Pertunjukan dan Seni Media. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Catatan ;
[2] Bambang Murtiyoso, dkk, Pertumbuhan dan
Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang, (Surakarta: Etnika Surakarta,
2004). Hlm. 1
[3] Evan Kurniawan,
Wayang, Media Dakwah Para Wali, lihat: http://ervakurniawan.wordpress.com/2010/12/31/wayang-media-dakwah-para-wali/, diakses tanggal 15
Nopember 2011.
[5] Pandam Guritno, Op. Cit, Hlm. iii
[6] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah
Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009),
Hlm. 49-50.
[7] Ibid, Hlm. 11-13
[8] Jenis-jenis Wayang, http://limasekawan54.multiply.com/journal/item/9, diakses tanggal 15
Nopember 2011.
[10] Vicctoria M.
Clara Van Groennendael, Dalang di
Balik Wayang, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987), Hlm. 189.
[12] Wayang Sebagai Media Dakwah,
http://bataviase.co.id/node/507441, diakses tanggal 15
Nopember 2011
[14] Rahayu Upanggah, dkk, Sejarah Kebudayaan Indonesia : Seni Pertunjukan dan Seni Media, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2009),
Hlm. 174
[16] Giri
Raharja, Reposisi Dalang Wayang Goleh, Lihat: http://putragiriharja3.blogspot.com/2011/07/reposisi-dalang-wayang-golek-menghadapi.html. Diakses tanggal 15 Januari 2012
[18] Slamet Mulyana, Dalang
Dibalik Wayang, Lihat: http://wsmulyana.wordpress.com/2008/12/04/dalang-di-balik-wayang/. Diakses tanggal 15 Januari 2012
0 comment:
Post a Comment