ANALISIS SEMIOTIK
MENGUNGKAP MAKNA DIBALIK TANDA dan
SIMBOL
I.
PENDAHULUAN
Sebagai makhluk yang hidup di dalam masyarakat dan
selalu melakukan interaksi dengan masyarakat lainnya tentu membutuhkan suatu
alat komunikasi agar bisa saling memahami tentang suatu hal. Apa yang perlu
dipahami? Banyak hal salah satunya adalah tanda. Supaya tanda itu bisa dipahami
secara benar dan sama membutuhkan konsep yang sama supaya tidak terjadi misunderstanding
atau salah pengertian. Namun pada kenyataannya tanda itu tidak selamanya
bisa dipahami secara benar dan sama di antara masyarakat. Setiap orang memiliki
interpretasi makna tersendiri dan tentu saja dengan berbagai alasan yang
melatarbelakanginya. Ilmu yang membahas tentang tanda disebut semiotik (the
study of signs).
Masyarakat selalu bertanya apa yang dimaksud dengan
tanda? Banyak tanda dalam kehidupan sehari-hari kita seperti tanda-tanda lalu
lintas, tanda-tanda adanya suatu peristiwa atau tanda-tanda lainnya. Semiotik
meliputi studi seluruh tanda-tanda tersebut sehingga masyarakat berasumsi bahwa
semiotik hanya meliputi tanda-tanda visual (visual sign). Di samping itu
sebenarnya masih banyak hal lain yang dapat kita jelaskan seperti tanda yang
dapat berupa gambaran, lukisan dan foto sehingga tanda juga termasuk dalam seni
dan fotografi. Atau tanda juga bisa mengacu pada kata-kata, bunyi-bunyi dan
bahasa tubuh (body language). Untuk memahami semiotik lebih jauh ada
baiknya kita membahas beberapa tokoh semiotik dan pemikiran-pemikirannya dalam
semiotik.
II. KATA
DAN LOKALITAS PEMAKNAAN
Menurut Saussure (salah seorang ahli linguistik),
bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem
dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu
memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas.
Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya
‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni “arbor”
dan konsep pohon. Signifiant “arbor” disebutnya sebagai citra akustik
yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie.
Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda (signifier) dan
petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal
yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (konvensi). a body of necessary
conventions adopted by society to enable members of society to use their
language faculty (sebuah tubuh
dari konversi perlu yang diadopsi oleh masyarakat untuk memungkinkan anggota
masyarakat untuk menggunakan pancaindera bahasa mereka).[1]
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat
dikatakan lahir dari kemufakatan
(konvensi) di atas dasar yang tak beralasan (unreasonable) atau
sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut
seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga
dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries)
yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang
mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris
bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan
konsekuensinya, makna pun tidak pernah
dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang
rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya,
baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena
operasi sebuah sistem bahasa menurut Saussure dilandasi oleh prinsip negative
difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban
atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is
not. Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.[2]
III. PEMBAHSAN SEMIOTIKA
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika
berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion
tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial.[3]
Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal
lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda.[4]
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek-obyek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew
mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian
disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor
dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang
khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif
masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.[5]
Semiotika berasal dari kata
Yunani semeion, yang berarti tanda.
Semiotika adalah sebuah
cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda, tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non verbal
sehingga bersifat komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu proses pemaknaan
oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari pengirim pesan.
Disamping itu, semiotika (semiotics)
adalah salah satu dari ilmu yang oleh beberapa ahli atau pemikir dikaitkan
dengan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan, sebuah teori dusta. Jadi, ada
asumsi terhadapteori dusta ini serta beberapa teori lainnya yang sejenis, yang
dijadikan sebagai titik berangkat dari sebuah kecenderungan semiotika, yang
kemudian disebut juga sebagai hipersemiotika (hyper-semiotics). Umberto Eco yang menulis tentang teori semiotika
ini mengatakan bahwa semiotika “...pada prinsipnya adalah seebuah disiplin yang
mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berdusta (lie).” [6]
IV. TANDA
SEBAGAI OBJEK KAJIAN SEMIOTIKA
Kajian
mengenai semiotika tersebut
dapat dikaji melalui berbagai macam pendekatan, antara lain melalui pendekatan
teori semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce, dimana dia
menandaskan bahwa kita hanya dapat berfikir dengan medium tanda. Manusia hanya
dapat berkomunikasi lewat sarana tanda.
Tanda
dalam kehidupan manusia terdiri dari berbagai macam, antara lain tanda gerak atau
isyarat, tanda verbal yang berbentuk ucapan kata, maupun tanda non-verbal yang
dapat berupa bahasa tubuh. Tanda isyarat dapat berupa lambaian tangan, dimana
hal tersebut bisa diartikan memanggil, atau anggukan kepala dapat diterjemahkan
setuju. Tanda bunyi, seperti klakson motor, genderang, tiupan peluit, terompet,
suara manusia, dering telepon. Tanda verbal dapat diimplementasikan melalui
huruf dan angka. Selain itu dapat pula berupa tanda gambar berbentuk rambu
lalulintas, dan sebagainya.
Bila
dikaji melalui pendekatan semiotika dengan menggunakan teori Pierce, maka
tanda-tanda dalam gambar dapat terlihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam
semiotik, antara lain : ikon, indeks dan simbol.
1)
Ikon adalah
tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda
yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto SBY
sebagai Presiden NKRI adalah ikon dari Susilo Bambang Yudhoyono. Peta
Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam sebuah
bentuk peta. Sidik jari Hanung adalah ikon dari ibu jari Hanung sendiri.
2)
Indeks merupakan
tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau
disebut juga tanda sebagai bukti. Misalnya : sap dan api, asap menunjukkan
adanya api. Jejak telapak kaki kuda di tanah merupakan tanda indeks hewan
bernama kuda yang telah melewati jalan itu. Tanda tangan Hanung adalah sebuah
brntuk tanda indeks dari keberadaan Hanung sebagai sosok manusia yang
menorehkan tanda tangan tersebut.
3)
Simbol adalah
tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama
yang bersifat universal. Misalnya : marka jalan tulisan “S” dicoret dengan gari
warna merah, menunjukkan simbol dilarang berhenti.[7]
Dari sumber yang lain, Zoest memberikan lima ciri dari tanda,
yang menyebabkan tanda itu bisa dikatakan sebagai sebuah tanda, yaitu:
1)
Pertama, tanda harus dapat
diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada
orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam
dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan
kerang-kerang yang sedemikia n rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka
kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg.
Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut
menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan
menginterpretasikannya sebagai tanda.
2)
Kedua, tanda harus ‘bisa
ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan
dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari or ang
lain.
3)
Ketiga, merujuk pada sesuatu
yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg
merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan
‘menyajikan’.
4)
Keempat, tanda memiliki
sifat representatif dan sifat
ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata
Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu
kota di Jerman, tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk-duduk orang Jerman’.
5)
Kelima, sesuatu hanya dapat
merupa-kan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar,
latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita
dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan
huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama
yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg
merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan
yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah
kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode.
Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental
atau berdasarkan pengalaman pribadi.[8]
V. PEMBAGIAN
KODE
Beberapa
contoh di atas merupakan sebuah pendekatan semiotika menggunakan pendekatan
struktural, dimana hanya melihat tanda-tanda dalam satu sisi saja. Sedangkan
untuk mengetahui kedalaman makna dari suatu tanda, diperlukan pendekatan pasca
struktural untuk membedah lebih lanjut mengenai kode-kode yang tersembunyi
dibalik berbagai macam tanda dalam sebuah wacana. Salah satu pendekatan pasca
struktural guna menelaah lebih lanjut mengenai kode-kode yang tersirat dalam
sebuah tampilan media adalah melalui pendekatan pasca struktural dari Ronald
Barthes.
Ronal
Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima
kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode
narasi, dan kode kebudayaan. Penjelasannya sebagai berikut :
1)
Kode
Hermeneutik,
yaitu artikulasi berbagai pertanyaan, teka-teki,
respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau denga
kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan denagn teka-teki yang timbul dalam
sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul?
Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain.
2)
Kode Semantik, yaitu
kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas,
maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang
ditata sehingga memberikan suatu kondisi maskulin, feminim, pertentangan,
kesukuan, loyalitas.
3)
Kode Simbolik, yaitu
kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan
dua unsur, skizofrenia.
4)
Kode Narasi, atau Proairetik,yaitu
kode yang mengandung unsur cerita, urutan, narasi atau antinarasi.
5)
Kode kebudayaan atau
Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat
kolektif, anonim, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah,
moral, psikologi, sastra, seni dan legenda.
Kode-kode
yang terkandung dalam sebuah tampilan suatu desain tersebut mempunnyai
pemaknaan yang lebih mendalam akan arti dari tanda visual, dimana berbagai
macam aspek tersebut menjadi sebuah acuan dalam pembuatannya, baik aspek
kebudayaan, semantik, dan yang lainnya. Sehingga dalam konteks semiotika,
pendekatan untuk melihat pemaknaan akan sebuah tanda dalam sebuah desain
komunikasi visual tidak hanya melihat melalui satu sisi saja (struktural),
melainkan dengan tambahan menggunakan pendekatan pasca struktural guna melihat
kode-kode tersembuny di balik sebuah tanda, sehingga dapat diperoleh sebuah
pemaknaan yang menyeluruh akan sebuah tampilan desain komunikasi visual.[9]
VI. MACAM-MACAM
ANALISIS SEMIOTIK
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam
semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis-jenis
semiotik ini antara lain semiotik
analitik, diskriptif, faunal
zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
1)
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda.
Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
2)
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang disaksikan sekarang.
3)
Semiotik faunal
zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem
tanda yang dihasilkan oleh hewan.
4)
Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
5)
Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam
narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
6)
Semiotik natural atau semiotik
yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.
7)
Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda
yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
8)
Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang
rangkaian kata berupa kalimat.
9)
Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang dimanifestasi kan melalui struktur bahasa.[10]
VII. KESIMPULAN
Semiotika
merupakan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda,
tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal
maupun non verbal sehingga bersifat komunikatif, hal tersebut memunculkan suatu
proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari
pengirim pesan.
Tanda
memiliki hubungan yang tidak terpisahkan dengan ilmu semiotik, karena tanda
menjadi objek yang menjadi bahan kajian dari semiotika, tanpa tanda ilmu
semiotika tidak akan ada.
Pemaknaan
terhadap suatu tanda terkadang hanya dilakukan dengan melihat secara visula
saja atau secara kasat mata, dan jarang sekali dijumpai pemaknaan mendalam
terhadap suatu tanda tertentu. Maka untuk mengetahui kedalaman makna dari suatu
tanda, diperlukan pendekatan pasca struktural untuk membedah lebih lanjut
mengenai kode-kode yang tersembunyi dibalik berbagai macam tanda dalam sebuah
wacana. Biasanya dalam pendekatan pasca struktural dikenal beberapa kode,
diantaranya : kode hermeneutik, kode
semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan.
Semiotik
memiliki berberapa jenis, sesuai dengan pembahasan khusu dari masing-masing
objek tanda, diantaranya : Semiotik
analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang
memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda
yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang.Semiotik faunal zoosemiotic merupakan
semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik
yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang
membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik
normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat
oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik
sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan
oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian
kata berupa kalimat. Semiotik struktural
adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasi kan
melalui struktur bahasa.
[1] F. Saussure, Course
in General Linguistics, (Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1988), hlm. 10.
[2] Manneke Budiman, Indonesia: Perang Tanda” dalam Indonesia: Tanda yang Retak,
(Jakarta: Wedatama Widya
Sastra, 2000), hlm.
30.
[4] Aart
Zoest, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan
Dengannya, (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993), hlm. 1
[6] Yasraf Amir
Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna,
Yogyakarta: jalasutra, 2003, hlm 42-44
[7] Hanung, Analisis
Semiotika Struktural dan Pascastruktural dalam Tampilan Iklan Cetak Lux Shower.
Lihat : http://hanunk.cjb.net, diakses tanggal 12
desember 2011
[9] Op.Cit. Hanung.
0 comment:
Post a Comment