TRADISI
ITU BERNAMA RIYOYO*
“Indahnya
jalinan silaturrahmi, jika kita bisa sling berbagi”
“Tak akan
ada perselisihan, jika kita saling bertoleransi”
“Nikmatnya
sebuah kehidupan, jika kita bisa hidup rukun berdampingan”
“Tak aka
nada iri dan dnegki, jika kita saling mengerti dan memahami” (elf syair)
(Galih,
26 Agustus 2012). Ada sebuah catatan tradisi yang hampir saja saya lupakan,
ketika aku berada di kampong halamanku. Kampungku berada di gang buntu yang
berada di desa Galih dan masuk dalam wilayah kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal
Jawa Tengah. Sekitar 15 KM arah barat daya Kota Kendal, serta berjarak kurang
lebih 33 KM arah barat Kota Semarang.
Untung
saja, di akhir liburan Lebaran ini, aku sempat mengikuti prosesi adat dan
tradisi yang selama ini terus dilestarikan oleh masyarakat di kampungku.
Tradisi
ini biasanya dilakukan pada saat hari raya Islam, yaitu di hari raya ‘idul
fitri tanggal 1 syawal, hari raya ‘idul adha pada tanggal 10
Dzulhijjah, serta hari raya ketupat (atau masyarakat kampungku sering
menyebutkan dengan istilah bodho syawal) 1 minggu setelah hari raya ‘idul
fitri.
Pada
moment inilah masyarakat di kampungku biasa mengadakan tradisi Riyoyo.
Riyoyo merupakan tradisi makan bersama dengan saling bertukar makanan satu
dengan yang lainnya. Dalam tradisi riyoyo juga terdapat pembacaan Tahlil
untuk arwah leluhur sebagai salah satu rangkaian tradisi yang masih terus
dipertahankan.
Tradisi riyoyo
ini biasanya dilakukan pagi hari, sekitar pukul enam pagi. Lelaki dewasa
kampungku pada pagi hari sudah berduyun-duyun untuk memadati mushola kampong.
Dengan membawa lontong, lepet, opor ayam, bahkan ada yang bawa krupuk,
buah-buahan serta makanan yang lain yang turut meramaikan tradisi riyoyo tiap
tahunnya. Setelah sampai di mushola semua makanan itu diletakkan di
tengah-tengah para hadirin yang telah duduk membentuk lingkaran.
Di awal
prosesi, dibacakan tahlil untuk arwah para leluhur. Setelah pembacaan selesai
dilanjut do’a, dan setelah do’a para hadirin bersegera untuk menghampiri sajian
masakan yang telah tersaji yang dibawa oleh para lelaki dewasa. Tradisi ini
biasa dilakukan oleh kaum lelaki. Suasana kekrabanpun mulai terasa tatkala
semua hadirin mengambil masakan yang sudah tersaji, tidak ada pilih-memilih
makanan, tak peduli siapa yang membawa makanan itu. Semua segera bersantap.
Setiap
hadirin yang datang pasti mendapat makanan yang dibawa orang lain, maklum saja.
Namanya juga tukaran makanan. Misalnya si A mendapat makanan yang dibawa si D,
dan si C mendapat makanan yang dibawa si E. Tidak ada sesuatu apapun yang
disembunyikan. Semua hadirin mendapatkan jatah makanan satu-persatu. Tak heran
jika tradisi ini, terus dipertahankan oleh masyarakat kampungku.
Ketika
dianalisis lebih menjauh, tradisi ini mengajarkan kepada masyarakat untuk
saling berbagai tanpa melihat siapa yang berbagi, siapa yang akan diberi.
Karena pada dasarnya semua manusia itu sama di mata Allah, yang membedakan
hanyalah tingkat ketqwaan seseorang di hadapan Allah.
Karena,
itulah tradisi riyoyo selalu dipertahankan oleh masyarakt kampungku.
Semua tumpah ruah dan larut dalam kebersamaan saat prosesi tradisi riyoyo ini.
Ada sebuah kerinduan tersendiri di hati saya, saat tidak berada di kampong
halaman. Rindu akan suasana kampong, keramahan warga kampong, serta berbagai
macam tradisi yang masih terus dipertahankan salah satunya tradisi riyoyo.
(ipud)
* Liputan
oleh : Saifudin elf
Saat Libur Lebaran ‘idul fitri 1433 H
Di kampung halamanku
0 comment:
Post a Comment