MENAWAR
ARUS KONSUMERISME LEBARAN
Oleh :
Saifudin ELF*
Idul
fitri merupakan hari raya umat Islam. Hari raya ini merupakan sebuah karunia
yang diberikan Allah kepada umat muslim yang telah menjalankan ibadah puasa
selama satu bulan penuh. Banyak cara yang dilakukan umat Islam untuk
menyambutnya.
Gegap
gempita serta suka cita umat muslin tumpah saat mendekati perayaan hari raya
Idul Fitri. Salah satu cerminannya bisa kita lihat dengan prosesi mudik para
perantau kembali ke kampung halaman. Dengan segala macam persiapan para
perantau berbondong-bondong mudik untuk merayakan Idul Fitri di kampung
halaman.
Namun
yang paling mencengangkan adalah adanya budaya baru ketika mendekati Idul Fitri
selain budaya mudik. Apakah itu? Yah benar sekalai, yaitu adanya budaya
konsumen atau belanja berlebih. Bagi sebagain orang moment Idul Fitri adalah
moment yang pas buat membelanjakan hasil keringatnya. Karena pada moment kali
inilah seseorang yang merantau di luar kota diukur kesuksesannya oleh orang
yang menetap di kampung halaman.
Wajar
saja, bila selanjutnya banyak masyarakat yang terbius dengan arus konsumerisme
hari raya. Bukan hanya itu saja, bahkan orang yang tidak merantau sekalipun
ikut terbawa arus konsumerisme tersebut. Setelah hampir satu bulan penuh bersusah
payah, berjuang untuk menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu dalam ritual ibadah
puasa. Menjadikan moment Idul Fitri sebagai moment untuk balas dendam
katanya.
Banyak
masyarakat yang memenfaatkan moment Idul Fitri untuk membeli segala macam
kebutuhan pribadi maupun kebutuhan keluarga dengan tanpa mempedulikan pundi-pundi
keuangan yang dimiliki. Akibatnya, setelah moment hari raya Idul Fitri
banyak dintara kita yang defisit keuangan. Sungguh mencengangkan memang,
melihat fenomena seperti ini.
Banyak toko
busana muslim laris manis diserbu pembeli, banyak toko bahan kebutuhan
rumah tangga diserbu pembeli mendekati lebaran. Para pedagang seolah-olah
diterjang banjir belanja masayarakat. Selain itu, banyak juga para pedagang
yang memanfaatkan moment Idul Fitri untuk cuci gudang, menawarkan berbagai
macam barang dengan harga miring berbeda dengan hari biasanya.
Mendapatkan
untung yang sebanayak-banyaknya mungkin menjadi salah satu factor munculnya
harga miring oleh para pedagang. Jika sudah banyak pedagang yang menawarkan
barang dagangannya dengan harga miring masayarakat seolah terbius untuk
memborong segala barang yang ditawarkan, walaupun barang yang ditawarkan tidak dibutuhkan dalam waktu dekat.
Dalam
moment seperti inilah masyarakat diuji keimanannya dalam hal berbelanja.
Jika keadaan sudah sedemikian rupa, factor yang utama ada pada diri masyarakat
itu sendiri. Apakah akan terpengaruh dengan pasar yang sedemikian kejamnya?
Ataukah masyarakat akan merespon keadaan pasar dengan cara yang bijak? Entahlah
!!!
Kiranya
masyarakat perlu menawar kembali, naluri belanja dadakan mendekati hari raya
Idul Fitri dan pasca hari raya. Perlu adanya manajemen keuangan yang jitu, guna
mensiasati arus konsumerisme yang melanda sebagian besar masyarakat kita.
Terakhir
dalam tulisan saya ini, sekali lagi perlu adanya sikap irit dalam
penggunaan pendapatan jika tidak mau defisit. Perlu adanya menajemen keuangan
terutama dalam moment sebelum dan pasca hari raya Idul Fitri. Rencanakan segala
macam kebutuhan yang sesuai dengan budget yang dimiliki.
*pemerhati budaya dan
anggota organisasi pergerakan mahasiswa IAIN Walisongo Semarang
0 comment:
Post a Comment