I.
TERJEMAH SURAT AL-FAJR AYAT 25-27
7Í´tBöqusù w Ü>Éjyèã ÿ¼çmt/#xtã Ótnr& ÇËÎÈ wur ß,ÏOqã ÿ¼çms%$rOur Ótnr& ÇËÏÈ $pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ
Artinya : “ Maka pada hari
itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya (25). Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya (26). Hai jiwa yang tenang (27).” (Qs. Al-Fajr : 25-27)
II. MUFRODAT
çms%$rO : Pengikat atau pembelenggu menggunakan rantai pasungan.
p¨ZÍ´yJôÜßJø9$# : Asal katanya Al-Ithmi’nan. Artinya
tetap dan teguh.
III. POKOK ISI KANDUNGAN SURAT AL-FAJR AYAT 25-27
Dalam kitabnya Tafsir Ibnu Katsier menerangkan bahwa
pokok isi kandungan surat Al-Fajr ayat member pelajaran mengenai :
1.
Sisa orang
kafir itu pasti.
2.
Kemewahan
dan nikmat yang berlimpahan bukan tanda kemuliaan Allah kepada hamba. Dan
sebaliknya kemiskinan bukan tanda kehinaan dari Allah.
3.
Suasana di
hari kiamat.
4.
Orang-orang
yang celaka akan ingin kembali ke dunia untuk bertaubat.
5.
Kemuliaan
dan kehormatan yang dicapai oleh jiwa yang beriman dan diridhai Allah.[1]
IV. ASBABUN NUZUL
Surat ini merupakan surat makiyyah yang
diturunkan di kota mekah dan merupakan surat yang pendek. Surat ini bercerita
tentang teguran Allah SWT. Kepada kaum tsamud, kaum iran dan kaum fir’aun.
Mereka adalah kaum yang gemar membuat kerusakan di negeri mereka. Mereka lupa
bahwa Allah swy. Senantiasa mengawasao perbuatan mereka. Karena
peringatan-peringatan yang diberikan selalu diabaikan, maka Allah swt.
Menghukum mereka dengan kesengsaraan. Itulah pelajaran yang dapat diambil oleh
kita semua.
Pada awal surat, yaitu ayat 2 disebutkan “malam
yang sepuluh”. Tak ada seorangpun mengetahui maksud dari sebutan “malam
yang sepuluh” ini karena memang hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
Pada ayat yang lain disebutkan bahwa
manusia telah salah dalam menafisirkan maksud dari ujian yang diberikan Allah.
Sebagaimana kesulitan adalah ujian, begitu pula dengan kesenangan yang
diterima. Pada saat senang, manusia diuji untuk tetap mengingat Allah, misalnya
dengan memelihara anak yatim dan member makan orang miskin. Tapi kebanyakan
manusia melakukan hal yang sebaliknya, yaitu mencampurkan yang hak dan batil
dengan cara memakan harta (warisan) mereka. Bagi mereka yang berbuat demikian,
Allah berikan Jahanam di hari akhir.
Namun, bagi mereka senantiasa tunduk dan
taat pada Alla, hari itu adalah hari yang menggembirakan. Karena Allah
menyambut jiwa-jiwa mereka dengan panggilan yang lembut lagi penuh kasih
saying. Kepada mereka dipersilahkan masuk ke dalam surge. Itylah jiwa-jiwa yang
mendapat ridha Allat swt.
Allah swt. Berfirman “Hai jiwa yang
tenang.” (al-fajr 27). Sebab turun ayat ini, ibnu abi hatim meriwayatkan
dari Buraidah yang berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah”
Dari Juwaibir dari adh-Dhahhak dari Ibnu
Abbas juga diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Pernah berkata, “siapa yang
membeli sumur ruumat yang dengannya ia mendapatkan airnya yang tawar, Allah swt
akan mengampuninya.”
Usman bin affan lantas membeli sumur umum
(tempat semua orang mengambil air)?” usman menjawab, “ya” terhadap sikap usman
ini, Allah Swt lalu menurunkan ayat, ”hai, jiwa yang tenang” (al-fajr 27).[2]
V. SYARAH PENJELASAN
Pada ayat-ayat yang lau Allah menyanggah anggapan
mereka yang menyatakan bahwa kekayaan merupakan lambing kemuliaan di sisi-Nya,
dan bahwa kekafiran merupakan symbol kehinaan di sisi-Nya. Kemudian Allah
mengecam perbuatan mereka yang berlebih-lebihan dalam mengumpulkan harta benda
dan kekayaan materi. Pada ayat-ayat selanjutnya Allah menjelaskan kebohongan
pengakuan mereka yang menyatakan bahwa mereka penuh dengan rasa kasih saying
terhadap golongan mereka yang menyatakan bahwa mereka selalu ingat dan taat
kepada Allah serta hati mereka penuh dengan rasa kasih saying terhadap golongan
yang lemah. Namun sesungguhnya mereka cenderung mengumpulkan harta benda
menuruti kemauan hawa nafsu. Mereka hanya ingat kepada-Nya ketika tiba hari
kiamat yang agung, yaitu hari dimana mereka menyaksikan pemandangan yang amat
mengerikan. Pada hari itu mereka tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan
sedikitpun. Justru tampak di hadapan mereka apa yang bakal menimpa mereka
berupa siksaan dan adzab. Tetapi kesadaran mereka sudah terlambat dan tidak
bisa diperbaiki lafi. Sebab hari itu adalah masa pembalasan dan bukan masa
pengamalan, kini tinggallah mereka menyesali perbuatannya yang telah lalu, dan
mereka adalah orang-orang yang merugi. Sehingga mereka mengatakan :
ãAqà)t ÓÍ_tGøn=»t àMøB£s% ÎA$uptÎ: ÇËÍÈ
Artinya : “Dia mengatakan:
"Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk
hidupku ini". (Qs. Al-Fajr : 24)
Mereka mengatakan demikian sebab tidak mampu
menggambarkan betapa berat siksaan yang akan menimpa mereka dan betapa sulit
menggambarkan kehinaan yang bakal mereka alami.
7Í´tBöqusù w Ü>Éjyèã ÿ¼çmt/#xtã Ótnr& ÇËÎÈ wur ß,ÏOqã ÿ¼çms%$rOur Ótnr& ÇËÏÈ
Pada hari itu tidak seorang pun ditimpa penderitaan
siksaan sebagaimana yang menimpa mereka yang lupa diri karena kekayaannya dan
mengingkari nikmat Tuhan yang dilimpahkan kepadanya. Atau sebagaimana mereka
yang ditimpa kekafiran, kemudian dengan sekehendak hati menimbulkan kerusakan
di muka bumi Allah di belenggu seperti apa yang membelenggu mereka.
Dalam ayat ini jelas terkandung peringatan yang dalam
bagi mereka yang hidup hatinya pada peka perasaannya.[3]
Ini adalah azab Tuhan, bukan Azab seorang makhluk
bagaimanapun kuat rasanya. Ikatan belenggu Tuhan, yang tidak ada satu
belenggupun dalam dunia ini yang akan dapat menandingi belenggu Tuhan itu.
Maka ngeri dan tafakkurlah kita memikirkan hari itu,
hari yang benar dan termasuk dalam bagian terpenting dari iman kita, sesudah
kita percaya kepada Allah. Dan terasalah pada kita bahwa tidak ada tempat
berlindung dari murka Allah, melainkan kepada Allah juga kita berbuat.[4]
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ
Wahai jiwa yang telah yakin kepada perkara hak dan
tidak ada lagi perasaan syak. Engkau telah berpegang teguh pada
ketentuan-ketentuan syarsehingga tidak mudah terombang-ambingkan oleh nafsu
syahwat dan berbagai keinginan.
Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perihal manusia
yang yang diberikan kelapangan rizki dan watak-wataknya sehingga ketamakan
menguasai dirinya dan cenderung mengejar kepuasan nafsu syahwatnya serta
keinginan-keinginannya dan sehala tingkah lakunya lepas dari kendali pikiran
sehat. Kemudian di ayat selanjutnya Allah menjelaskan balasan bagi orang yang
mampu mengendalikan nafsunya sehingga mencapai derajat kesempurnaan. Untuk
manusia yang bisa mengendalikan nafsunya, hatinya selalu dalam perasaan tentram
dan tenang. Karena, ia selalu merasa bahwa setiap Perbuatannya dalam pengawasan
Allah. Manusia yang semacam ini ketika
dalam kondisi yang serba kecukupan (kaya) ia tidak mengambil seluruh yang
dinilikinya. Dan pada saat berada dalam kondisi yang fakir ia, selalu bersabar
dan tidak menadahkan tangannya meminta pertolongan pada orang lain.[5]
Abdullah bin Mas’ud RA. Berkata: Rasulullah SAW,
bersabda :
يؤتي بجهنم يومئذ لها سبعون الف زمام مع كل زمام سبعون الف ملك يجرونها
Artinya : “Akan didatangkan
jahanam pada hari kiamat dengan terkendali tujuh puluh ribu, tiap terkendali
dipegang oleh tujuh puluh ribu Malaikat yang menariknya”. (HR. Muslim)
Muhammad bin Amrah nerkata : Andaikan ada seorang
hamba yang sejak dilahirkan hingga mati ia selalu sujud taat kepada Allah.
Pasti ia akan meremehkan kelakuannya itu di hari kiamat, dan ia masih ingin
dikembalikan ke dunia untuk menambah pahala (dan beramal).
Ibnu abbas RA, ketika menerangkan ayat :
$pkçJr'¯»t ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuÅÊ#u Zp¨ÅÊó£D ÇËÑÈ
Ia berkata : Ketika turun ayat ini sedang Abu Bakar
duduk dan berkata : Ya Rasulullah alangkah baiknya orang yang mendapat usapan
itu. Maka Nabi SAW bersabda : Ingatlah kata itu akan dikatakan kepadamu.
Abu Umamah RA berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada
seorang : Bacalah :
اللهم اني اسألك نفسا بك مطمئنة تٶمن بلقائك
وترظى بقضا وتقنع بعطا ئك
Artinya : “Ya Allah saya minta kepadamu jiwa (hati) yang selalu
tenteram kepada-Mu. Percaya akan berhadapan kepada-Mu, dan rela dengan
putusan-Mu, dan menerima (terima/qana’ah) segala pemberian-Mu”. (R. Ibn
Asaakir).[6]
Al-Qur’an
sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar
pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah
kesesatan karena nafsul-ammarah ini. (Lihat Surat 12, Yusuf; ayat 53) :
* !$tBur
äÌht/é&
ûÓŤøÿtR
4
¨bÎ)
}§øÿ¨Z9$#
8ou$¨BV{
Ïäþq¡9$$Î/
wÎ)
$tB
zOÏmu
þÎn1u
4
¨bÎ)
În1u
Öqàÿxî
×LìÏm§
ÇÎÌÈ
Artinya : “Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang. (Qs. Yusuf : 53))
Bilamana
langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam
bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah
pertama tentang ihwal hari kiamat. (Surat 75, Al-Qiyamah ayat 2).
Iwur
ãNÅ¡ø%é&
ħøÿ¨Z9$$Î/
ÏptB#§q¯=9$#
ÇËÈ
Artinya : “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali
(dirinya sendiri).” (Qs. Al-Qiyamah
: 2)
Demikian
pentingnya, sampai dijadikan sumpah. Karena bila kita telah sampai kepada Nafsul-Lawwamah, artinya kita telah
tiba dipersimpangan jalan; atau akan menjadi orang yang baik, pengalaman
mengajar diri, atau menjadi orang celaka, karena sesal yang tumbuh tidak
dijadikan pengajaran, lalu timbul sikap yang dinamai “keterlanjuran”.
Karena
pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”,
yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng
oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan
berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian
pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena
sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah
jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.
Jiwa
inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan
mendabik dada. Dan sabar ketika rezeki hanya sekedar lepas makan, bukan
mengeluh. Yang keduanya telah tersebut dalam ayat 15 dan 16 tadi.
Jiwa
inilah yang tenang menerima segala khabar gembira (basyiran) ataupun khabar
yang menakutkan (nadziran).
Jiwa
inilah yang diseru oleh ayat ini:
“Wahai
jiwa yang telah mencapai ketentraman.” (ayat 27). Yang telah menyerah penuh dan tawakkal kepada
Tuhannya: Telah tenang, karena telah mencapai yakin: terhadap Tuhan.
Berkata Ibnu ‘Atha’: “Yaitu jiwa yang telah mencapai
ma’rifat sehingga tak sabar lagi bercerai dari Tuhannya walau sekejap mata.”
Tuhan itu senantiasa ada dalam ingatannya, sebagai tersebut dalam ayat 38 dari
Surat 13, Ar-Ra’ad.
Berkata Hasan Al-Bishri tentang
muthmainnah ini: “Apabila Tuhan Allah berkehendak mengambil nyawa hamba-Nya
yang beriman, tenteramlah jiwanya terhadap Allah, dan tenteram pula Allah
terhadapnya.”
Berkata sahabat Rasulullah SAW ‘Amr bin Al-‘Ash
(Hadis mauquf): “Apabila seorang hamba yang beriman akan meninggal, diutus Tuhan
kepadanya dua orang malaikat, dan dikirim beserta keduanya suatu bingkisan dari
dalam syurga”. Lalu kedua malaikat itu menyampaikan katanya: “Keluarlah,
wahai jiwa yang telah mencapai keternteramannya, dengan ridha dan diridhai
Allah. Keluarlah kepada Roh dan Raihan. Tuhan senang kepadamu, Tuhan tidak
marah kepadamu.” Maka keluarlah Roh itu, lebih harum dari kasturi.”[7]
VI. PELAJARAN UNTUK DAKWAH MASA KINI
Dari hasil penafsiran surat Al-Fajr ayat 25-27 dapat
diambil hikmah, bahwa Allah tidak menjadikan harta benda sebagai tanda
kemuliaan yang berikan kepada manusia, dan Allah tidak menjadikan kemiskinan
sebagai tanda kehinaan terhadap manusia. Karena yang menjadi tolak ukur derajat
manusia adalah bagaimana sikap yang dilakukan manusia ketika dihadapkan pada
kedua posisi yang berbeda tersebut. Apakah menggunakan harta yang dimiliki
untuk hal-hal yang positif atau sebaliknya. Dan apakah berpaling ketika Allah
menempatkan manusia pada posisi miskin (sulit). Antar manusia pasti berbeda hal
yang dilakukan.
Sebagai calon seorang da’i hendaknya bersabar dalam
kegiatan dakwah. Karena tidak setiap manusia bisa menerima ajaran Islam dalam
sekali mendengar. Akan tetapi butuh waktu dan juga butuh pengulangan materi
dakwah, hingga materi dakwah yang diajarkan benar-benar sudah tertanam di hati
manusia tersebut. Ketika seorang da’I bisa melewati masa-masa sulit. Allah
menjanjikan akan memberikan kondisi ketenangn jiwa serta memberikan tempat yang
mulia, bagi orang yang mampu bersabar dengan segala kondisi apapun.
VII. KESIMPULAN
Pada hari itu tidak seorang pun ditimpa penderitaan
siksaan sebagaimana yang menimpa mereka yang lupa diri karena kekayaannya dan
mengingkari nikmat Tuhan yang dilimpahkan
kepadanya. Atau sebagaimana mereka yang ditimpa kekafiran, kemudian dengan
sekehendak hati menimbulkan kerusakan di muka bumi Allah di belenggu seperti
apa yang membelenggu mereka. Dalam ayat di atas terkandung peringatan yang
dalam bagi mereka yang hidup hatinya pada peka perasaannya
Ini adalah azab Tuhan, bukan Azab seorang makhluk
bagaimanapun kuat rasanya. Ikatan belenggu Tuhan, yang tidak ada satu
belenggupun dalam dunia ini yang akan dapat menandingi belenggu Tuhan itu.
Kemudian ayat selanjutnya, Al-Qur’an sendiri menyebutkan tingkatan yang ditempuh
oleh nafsu atau diri manusia. Pertama Nafsul Ammarah, yang selalu mendorong akan berbuat sesuatu di luar
pertimbangan akal yang tenang. Maka keraplah manusia terjerumus ke dalam lembah
kesesatan karena nafsul-ammarah ini
Bilamana
langkah telah terdorong, tibalah penyesalan diri atas diri. Itulah yang dinamai Nafsul-Lawwamah. Itulah yang dalam
bahasa kita sehari-hari dinamai “tekanan batin”, atau merasa berdosa. Nafsul-Lawwamah ini dijadikan sumpah kedua oleh Allah, sesudah sumpah
pertama tentang ihwal hari kiamat.
Karena
pengalaman dari dua tingkat nafsu itu, kita dapat naik mencapai “An-Nafsul-Muthmainnah”,
yakni jiwa yang telah mencapai tenang dan tenteram. Jiwa yang telah digembleng
oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan
berliku, sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki, karena di balik pendakian
pasti ada penurunan. Dan tidak gembira melonjak lagi ketika menurun, karena
sudah tahu pasti bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah
jiwa yang telah mencapai Iman! Karena telah matang oleh berbagai percobaan.
Jiwa
inilah yang mempunyai dua sayap. Sayap pertama adalah syukur ketika mendapat kekayaan, bukan
mendabik dada. Maka beruntunglah bagi manusia yang dapa melewati
tahapan nafsu tersebut, atau bahkan bisa langsung berada dalan nafsul
muthmainnah. Dalam posisi ini manusia benar-benar yakin akan kuasa dan
kehendak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy. 1991. Terjemah Singkat Tafsir
Ibnu Katsier Jilid 9. Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Maraghy, Ahmad Mushthafa. 1985. Terjemah Tafsir Al-Maraghi Juz
30. Semarang : Penerbit Toha
Putra.
Amrullah, Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim. 1983. Tafsir
Al-Azhar Juz XXX. Surabaya : Pustaka Islam.
Tim Gema Insani. 2008. Juz Amma Untuk Anak.
Jakarta: Gema Insani.
[1] Salim
Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier Jilid 9,
(Surabaya: Bina Ilmu. 1991),
[2] Tim Gema Insani, Juz amma untuk anak, (Jakarta: Gema Insani,
2008), Hal 95.
[3] Ahmad Mushthafa Al-Maraghy, Terjemah Tafsir
Al-Maraghi Juz 30, (Semarang :
Penerbit Toha Putra, 1985), Hal 257
[4] Syaikh Abdulmalik Bin Abdulkarim Amrullah, Tafsir
Al-Azhar Juz XXX, (Surabaya : Pustaka Islam, 1983), Hal 134
[5] Ibid, Hal 254-259.
[6] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op.Cit, Hal
64-65
0 comment:
Post a Comment