09 March 2011

BERSATUNYA POLITIK ALIRAN
SANTRI ABANGAN DAN PRIYAYI


PEMBAHASAN
Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang dijadikan pemersatu dalam negara.[1]
 
Masyarakat jawa menurut Clifford Gerts dikategarosasikan ke dalam tiga golongan, yakni santri, abangan, dan priyayi. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang memprtikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme. Sedangkan kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi atau sering disebut kaum bangsawan. Namun penggolongan ketiga kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat, karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri – abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim. Dalam dinamika sosial, sering ditemukan pola-pola konflik antara ketiga golongan tersebut dalam beberapa hal, yakni konflik idiologi, konflik kelas, dan konflik politik.
Konflik Idiologi
Ketegangan antara priyayi dan abangan dalam hal idiologi tidak begitu terlihat secara jelas dibandinkan ketegangan antara kedua kelompok itu dengan kaum santri . serangan kaum abangan terhadap idiologi kaum santri terlihat jelas dengan nyanyian ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri merasa memiliki moralitas yang lebih suci dari kaum abangan dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung namun dalam kenyataan – menurut kaum abangan – masih melakukan perbuatan zina. Dalam serangan priyayi, kritik terhadap kemunafikan santri dan intoleransi mereka sering digabungkan dengan perbedaan teoritis mengenai pola kepercayaan. Menurut kaum abangan, ritual keagamaan haji ke Makkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang tidak penting dan hanya membuang-buang uang saja. Sebenarnya mereka – menurut kaum abangan – hanya ingin dihormati setelah melakukan ibadah haji. Namun serangan kaum santri terhadap kedua golongan tersebut (abangan dan priyayi) tidak kalah tajam. Mereka menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan menuduh kaum priyayi tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan (dosa takabbur yang berat sekali) dan mereka mempunyai tendensi yang jelas untuk menganggap setiap orang diluar kelompoknya adalah komunis.
• Konflik Kelas
Ketegangan priyayi dan abangan terlihat jelas pada hubungannnya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak sehingga mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih tinggi dibangdingkan kaum abngan sehingga mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani meniru gaya hidup mereka. Namun sejak zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum priyayi. Hal ini karena tidak adanya orang kuat dari kaum priyayi dinpedesaan sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekeyaan, dan kesaktian magis dalam strutur masyarakat.
Konflik Politik
Disamping konflik-konflik idologis, perjuangan kekuasaan politik merupakan unsur yang ketiga yang mempertajam konflik keagamaan. Konflik politik yang berawal dari revolusi politik yang ada di Indonesia , yaitu ketika kekosongan kekuasaan yang tiba-tiba terjadi menyeret hampir semua kehidupan sosial ke sana . Perjuangan politik yang demikian meninggi tentu saja menghasilkan suatu konflik internal yang dipertajam antara berbagai kelompok keagamaan. Persoalan keagamaan hampir menjadi persoalan politis.[2]
 
 
 
 
 
 
Clifford Geertz menyajikan suatu pemikiran yang berangkat dari pemahaman antropologi yang alami terhadap unsure lokalitas dalam memahami suatu kebudayaan. Salah satunya berupa mitos yang merupakan salah satu item dari kebudayaan local. Terdapat pemahaman yang inklusif sehingga unsure-unsur budaya tidak dipahami secara sacral, sehingga manusia dapat berfikir dan merasakan proses yang terjadi di alam ini adalah sesuatu yang natural, sehingga ada keterbukaan. Geertz menjadikan unsure rasionalitas yang terkait dengan akal sebagai standar untuk melihat sesuatu, sehingga Geertz mampu menyajikan pemikiran yang penuh dengan kontroversi walaupun tidak sedikit pula yang pro dengannya. Sebagai contoh adanya penggolongan social budaya berdasarkan aliran ideology masyarakat Jawa menjadi abangan, santri dan priyayi. Selanjutnya unsure itu didukung oleh moralitas yang terkait dengan etika. Sehingga Gerertz benar-benar mengembalikan fungsi unsur lokalitasnya.
Geertz memperlakukan perbedaan yang muncul dalam masyarakat dengan mencari titik temunya. Salah satunya dengan adanya semacam adaptasi dan interaksi antara manusia dengan budaya dan alam lebih dari sekedar partisipatoris. Sehingga ada keterlibatan langsung manusia didalamnya untuk mengetahui secara langsung, obyektif dan tanpa tendensi. Sebagai contoh adanya pengagungan salah satu symbol dalam mitos, seperti kuburan seperti yang dinyatakan oleh Malinowski. Selain itu adanya perlawanan antara dalam-luar, orang pertama-orang ketiga, pendekatan-objectivist, kognitif-etik dan lainnya. Untuk mengatasinya Geertz menggunakan pendapat Heinz Kohut yaitu Psychoanalyst untuk mendapatkan titik temu yang tidak berdasarkan asumtif saja tapi dengan terlibat langsung dengan akulturasi budaya itu. Selanjutnya disajikan oleh Geertz beberapa pemaknaan lebih berupa pengalamannya untuk memahami sesuatu baik dengan experience-near maupun experience-distant yang melahirkan pengalaman kebudayaan bahkan agama berangkat dari pemahaman orang itu (informan) terhadap agamanya.
Geertz menceritakan ulang bagaimana pengalamannya ketika secara intensif mengkaji Jawa, Bali dan Moroccan dengan memberikan subyektif meaningnya sehingga Geertz dapat menganalisis format simbolis, kata-kata (mantra), imagine, perilaku (ritual) dan lainnya. Geertz menemukan bahwa di Jawa, Bali dan Moroccan  gagasan mengenai selfhood jelas berbeda tidak hanya dari kita sendiri tetapi juga tidak kurang dramatis dan instruktif dari satu ke yang lainnya. Contohnya ketika seorang laki-laki muda yang di tinggal mati istrinya, menyambut semua orang yang datang untuk melayat dengan senyum dan meminta maaf atas nama istrinya. Ini mengenai kejujuran yang hakiki tentang dalamnya perasaan dan pentingnya moral tentang ketulusan personil. Dapat saya pahami bahwa konsep rasional, moral, etik dan transenden sangat berkaitan erat.
Pokok kajiannya meliputi agama Jawa, politik aliran mengenai konsep trikhotominya (abangan, santri, priyayi), watak perkotaan di Jawa sebagai hollow town dan bukannya solid town, pengelompokan politik tanpa basis kelas, perbandingan Islam Indonesia dan Islam Maroko (antara the scope of religion dan the force of religion) mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Perbandingan antara etos dan praktik perdagangan di Jawa dan di Bali (antara individualisme pasar dan rasionalitas ekonomi tanpa kemampuan oerganisasi ekonomi di satu pihak, berhadapan dengan kemampuan organisasi ekonomi tanpa individualisme pasar dan tanpa rasionalitas ekonomi di pihak lain), politik klasik di Bali yang dirumuskan sebagai theater state, apa yang ditinggalkan oleh Hinduisme dalam praktik keagamaan di Jawa dan Bali, serta praktik pertanian Jawa yang semenjak tanam paksa tidak berhasil mengalami evolusi menjadi pertanian kapitalis, tetapi mengalami evolusi yang menjadikan pertanian hanya sebagai tempat penampungan penduduk yang terus bertambah banyak dan karena itu tidak memungkinkan investasi baru.[3]
Geertz menemukan dua satuan yang kontras pada dasar yang religius di Jawa antara outside-inside dan refined-vulgar yang dalam bahasa sufi menunjuk pada satu sisi untuk menyampaikan kepada dunia tentang pengalaman observasi manusia pada manusia yang lain tentang behavior. Di Bali terdapat birth-order marker yang berisi sesuatu yang dibatasi dan berbeda menurut system secara internal yang sangat kompleks. Hal ini melalui format simbolis obserrable. Dan di Maroko adanya suatu format ganjil, format linguistic yang disebut dalam bahasa Arab sebagai nisba yang mengacu pada suatu analisi kombinasi, proses gramatikal dan semantic yang terkandung dalam mentrasformasikan suatu kata benda kepada apa yang kita sebut suatu adjective relative. Sebagai contoh jabatan, sekte religius, dan lainnya.[4]
Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/ 2004) menyatakan politik Indonesia bergerak menuju apa yang ia sebut pragmatisme-religius, kian kaburnya identitas religius-sekuler. Dijelaskannya, pragmatisme religius merupakan antropo-teosentrisme. Kuntowijoyo mencatat yang tersisa dari dikotomi itu apa yang oleh Max Weber disebut ketegangan kreatif antara zweckrational dan wertrational, pemikiran yang murni rasional menjadi satu dengan pemikiran berdasar nilai. Sehingga yang ada hanya pertentangan aktualitas, bukan ideologis.
Terlepas dari kritik yang dilontarkan, karya Geertz, The Religion of Java (1960) masih menjadi bacaan cukup penting tentang asal muasal politik aliran. Trikotomi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Jawa ke dalam varian abangan, santri, priyayi menjadi dasar pelembagaan organisasi politik berdasar aliran. Sebelumnya, C. Poensen (1886) dan Snouck Hurgronje (1899-1906), telah memopulerkan istilah abangan dan putihan yang menjadi dasar sarjana Barat dalam melihat polarisasi masyarakat Jawa. Sebagai klasifikasi sosiologis dan antropologis semuanya tentu tidak clear-cut.
Pengalaman Pemilu 1955 menjelaskan polarisasi masyarakat Jawa ke dalam empat partai besar: PKI (abangan), NU (santri tradisionalis), Masyumi (santri modernis) dan PNI (priyayi). Di lima karesidenan di mana PKI amat besar-Kediri, Semarang , Yogyakarta, Surakarta , Madiun-terjadi konflik horisontal yang dahsyat tahun 1965-1966. Meski Robert Cribb (1990) menyebut konflik-konflik horizontal itu lebih berdimensi ekonomi, namun penulis banyak menemui cerita lisan di desa-desa yang menyebutkan polarisasi aliran memang tumbuh subur saat itu.
Pemilu pertama masa Orba tahun 1971, menjadi babak baru diskontinuitas sejarah politik aliran. Dalam titik inilah sebenarnya kita baru bisa memeriksa kapan batas-batas kekaburan tercipta dan apa saja yang mempengaruhinya. Aswab Mahasin (1993) telah melakukan kajian proses pengkaburan (blurring) politik aliran. Dia mengajukan konsep santrinisasi abangan dan santrinisasi priyayi. Fakta kuatnya mobilitas santrinisasi ke dalam politik kekuasaan juga menunjukkan telah terjadi priyayinisasi santri. Kuntowijoyo menyebut, dan saya sepakat, peran lembaga pendidikan agama yang diselenggarakan negara memiliki andil besar dalam mengkaburkannya.
Namun dua hal lain meski disebut, sesuatu yang tidak kalah berpengaruh. Pertama, menciptakan lembaga politik yang amat canggih, Golkar, yang menjadikan kian samarnya solidaritas ideologis. Memang dua partai lain masih dibangun atas dasar sentimen ideologis, partai-partai Islam ke PPP dan partai abangan dan non-Islam ke PDI. Golkar menjadi ruang baru yang ingin selalu keluar dari dikotomi ideologis, meski pergeseran dari yang semula abang-mbranang ke ijo royo-royo di akhir kekuasaannya amat jelas tergambar. Karena itu, partai ini, kini memiliki kekenyalan strategis dan setidaknya memiliki beban ideologis secara historis.
Kedua, masyarakat Islam terbesar, nahdliyin, memiliki modal kultural, seperti tahlilan yang amat mempengaruhi pengkaburan ketegangan antara kaum santri dan abangan. Institusi ini mampu menjadi jembatan antara mereka yang taat beragama dan yang tidak taat dalam pergaulan sosial sehari-hari. Dalam forum kultural itu kaum abangan secara tiba-tiba merasa dirinya di dalam (inside) komunitas santri, tanpa harus kehilangan identitasnya awal sebagai abangan.[5]
Perbedaan orientasi politik atau aliran dipercaya menjadi sebab dari munculnya perbedaan partai politik dan konflik di antara mereka. Aliran yang berbeda bersaing terutama dalam mendefinisikan apa itu Indonesia . Atas dasar apa Republik Indonesia harus dibangun sehingga menjadi negara yang kuat dan punya pemerintahan baik?
Kalau disederhanakan, ada dua aliran politik yang mempengaruhi apa jawaban elite politik atas pertanyaan tersebut: santri dan abangan. Santri adalah kelompok Muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi pengelompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka mendirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar RI berasaskan Islam. Hanya dengan demikian Indonesia menjadi kuat.
Sebaliknya, abangan adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam. Islam tidak penting dalam kehidupan sosial-politik kelompok abangan. Tidak heran kemudian ia lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. PKI lahir dari elite dan massa yang berorientasi abangan seperti ini.
Sementara itu, abangan yang berada pada posisi kelas atas mewujudkan nilai politik mereka dalam PNI. Perbedaan PNI dan PKI secara kultural terletak pada sopistikasi kepercayaan mereka dan pada perbedaan kelas konstituen mereka. Meski demikian, ketika dihadapkan dengan Islam dan partai Islam, mereka merupakan kekuatan yang relatif homogen.
Pada tahun 1950-an kekuatan dua aliran ini cukup berimbang. Namun, ditambah dengan kekuatan partai non-Islam lain, mereka dapat membentuk kekuatan mayoritas. Meski demikian, gabungan ini tidak cukup membentuk kekuatan menetapkan asas negara di Konstituante dan karena itu berakhir deadlock. Akhirnya Soekarno membubarkan parlemen dan sejumlah partai penting. Otoritarianisme Soekarno dipercaya lebih mencerminkan kemenangan politik abangan. Dengan dibubarkannya Masyumi yang merupakan sayap utama politik santri, itu berarti menghapus secara signifikan polarisasi partai berbasis aliran.
Soeharto kemudian mengambil alih kekuasaan. Seperti halnya Soekarno, Soeharto sama-sama abangan dan ini berpengaruh bagaimana ia melihat hubungan Islam dan politik. Pada masa Soeharto, pluralisme politik ditekan sehingga akhirnya hanya ada satu partai yang berkuasa, yakni Golongan Karya.
Dalam politik otoritarian seperti itu, tidak ada jalan lain bagi putra-putri bangsa yang ingin berkarier secara optimal di dunia politik, kecuali bergabung dengan Golkar atau birokrasi. Tak terkecuali mereka yang berlatar belakang santri dan partai-partai Islam. Dalam konteks politik seperti ini tumbuh pemikiran politik Islam yang mempertanyakan keniscayaan kesatuan antara Islam dan politik. Muncul, misalnya, bahwa sekularisasi politik adalah suatu hal yang Islami, bahwa "Islam yes, partai Islam no", bahwa Islam hanya komplemen terhadap negara-bangsa.
Pemikiran politik Islam ini sebagian paralel dengan agenda politik Orba menolak politik berasas Islam. Namun, perbedaannya juga penting. Pemikir politik Islam tumbuh dari tradisi intelektual yang bersemangatkan sintesis antara tafsiran Islam tertentu dan nilai politik demokrasi. Semangat ini yang tidak ada dalam otoritarianisme sekuler Orba.
Soeharto sukses menyingkirkan kekuatan politik aliran santri di satu pihak, tetapi di pihak lain anak-anak santri ini mulai terekspos terhadap ide politik Islam baru yang mengapresiasi pluralisme politik. Anak-anak santri yang ada di Golkar dan birokrasi mendapatkan pembenaran keagamaan. Bersamaan dengan itu, Orba sendiri membuat kebijakan yang kondusif bagi tumbuhnya Islam sosial. Pendidikan agama dan sarana agama ditingkatkan.
Santrinisasi lewat pendidikan kemudian tumbuh. Merekalah yang kemudian banyak mengisi birokrasi dan elite Golkar. Partai Islam kemudian menjadi kehilangan daya tariknya. Kalau di Golkar bisa juga Islami, kenapa harus di partai Islam yang secara politik terbatas ruang geraknya. Politik aliran menjadi memudar. Anak-anak PNI, PSI, Masyumi, NU berbaur dalam satu partai, Golkar.
Apakah sekularisasi politik oleh negara dan kekuatan sosial-intelektual tersebut menghasilkan komitmen politik yang genuine di kalangan anak-anak santri? Pemilu 1999 merupakan kesempatan pertama untuk menjawab masalah tersebut karena pemilu tersebut dinilai cukup demokratis. Apa hasilnya?
Anak-anak santri yang sudah bergabung dengan Golkar tetap berada di sana . Yang tak bergabung dengan Golkar berkiprah di PPP yang berasas Islam, bergabung dengan PDI-P yang berasas Pancasila, membentuk partai Islam baru seperti PBB dan PK, dan partai baru yang tidak berasaskan Islam seperti PKB dan PAN. Kita tahu hasilnya, bahwa tiga partai yang berasas Islam tersebut hanya memperoleh suara sekitar 14 persen dari total pemilih. Ini sekitar 30 persen lebih kecil dibandingkan dengan hasil pemilu partai Islam tahun 1955.
Penolakan terhadap partai berasas Islam kelihatannya genuine. Mereka tidak kembali ke partai Islam ketika iklim politik jauh lebih bebas. Mereka tidak ditekan secara politik untuk membangun partai berasas Pancasila.
Signifikansi politik aliran sudah merosot. Anak-anak santri bersama dengan anak nonsantri sebagian besar pendukung partai berasas Pancasila. Kekuatan partai berasas Islam merosot. Pemilu bulan depan besar kemungkinannya mengulang hasil Pemilu 1999: gabungan partai berasas Islam akan mendapat suara belasan persen saja.[6]
Apa yang berlangsung di Jawa Timur mengindikasikan perkembangan yang menarik, terutama yang berkaitan dengan politik aliran. Tersebarnya politikus NU dalam berbagai kekuatan politik merupakan pertanda bahwa pembilahan ideologis-politis dalam pengertian aliran benar-benar telah pupus. Kenyataan bahwa para “santri” seperti Ali Maschan Moesa, Khofifah Indar Parawansa, Saifullah Yusuf, Ridwan Hisjam, dan Achmady bersedia dipasangkan dengan kalangan “abangan” semisal Soenarjo, Mudjiono, Soekarwo, Sutjipto, dan Suhartono menunjukkan betapa makin tipis dan kaburnya pembilahan ideologis-politis politik Indonesia. Hal ini diperkuat pula dengan parpol yang mendukung mereka, yang tidak lagi mempersoalkan perbedaan ideologis-politis yang mungkin ada. Bukankah hal yang sedemikian pula yang dipertontonkan pada Pemilu Presiden 2004 (Megawati- Hasyim Muzadi; Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla; Amien Rais- Siswono; Wiranto-Sholahudin Wahid; dan Hamzah Haz-Agum Gumelar) dan banyak pilkada yang berlangsung hingga kini? Kalau apa yang diungkapkan sejumlah kalangan benar, bahwa pada Pemilu Presiden 2009 nanti Megawati (lagi-lagi) akan mengambil tokoh Islam, bukankah ini merupakan kenyataan baru yang sejak 10 tahun lalu menjadi kecenderungan politik Indonesia? Jika memang ini yang sedang berkembang, dapat dikatakan bahwa politik aliran memang telah pupus. Sebaliknya, yang muncul adalah semangat untuk bekerja sama bahwa Indonesia atau Jawa Timur tidak bisa dipimpin oleh hanya satu “golongan” politik. Jika menggunakan konsep lama, yang oleh banyak pihak dipandang tidak tepat, baik golongan politik santri maupun abangan merasa saling membutuhkan.[7]


[1] Husni Mubarok, Politik aliran. Lihat:  http://hoesnimubarak.blogspot.com/2009/10/politik-aliran-sebuah-catatan-kecil.html.  Diakses tanggal 08 Nopember 2010

[4] Ignaz Kleden, Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam Clifford Geertz, After the Fact. (Yogyakarta: LKiS, 1998), Hal ix-xxi
[5] Suhadi, Transformasi Politik Aliran, lihat: http://members.multimania.co.uk/mastamim/mansa/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=9. diakses tanggal 08 Nopember 2010
[6] Saiful Mujani, Perubahan Signifikansi Politik Aliran. Lihat: http://freedom-institute.org/id/index.php?page=profil&detail=artikel&detail=dir&id=152. diakses tanggal 8 Nop 2010
[7] Bahtiar Effendy,  Bersatunya politik santri dan abangan. Lihat: http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/bersatunya-politik-santri-dan-abangan.html. Diakses tanggal 08 Nopember 2010.

0 comment:

Post a Comment

Welcome

Selamat Datang,
Selamat berkunjung di webblog milik Saifudin Elf, sebuah catatan sederhana dari sebuah proses dinamika berfikir, merangkai, dan menyusun kata.
"tak ada sejarah yang terukir tanpa tulisan, tak ada dokumentasi seindah lukisan Tuhan"
dengan motto tersebut, ku coba untuk menuangkan segala hasil pemikiran, jejak kaki, dan perjalanan hidup melalui webblog sederhana ini.
Kritik dan saran sangat saya harapkan,
Kritik dan saran Hubungi :
Saifudin ELF SMS/Call : 085740951321
Email : iffudz.saifudin@gmail.com
Twitter : @saifudinelf
Best Regard,
-saifudin elf-

Categories

Powered by Blogger.

Followers

Visitor


Blog Archive

Contact us

Name

Email *

Message *

Business

Instagram