Oleh :
Saifudin elf*
Tepat 17
agustus 2012, Indonesia memperingati hari jadinya yang ke-67 tahun. Selama itu
pula Indonesia bisa melepaskan diri dari belenggu penjajah. Ada nuansa yang
berbeda dengan peringatan 17 agustus di tahun sebelum-sebelumnya. Karena moment
17 agustus di tahun 2012, sama dengan moment saat 17 agustus 1945 saat
Indonesia memproklamirkan sebagai Negara yang
merdeka yaitu persamaan hari jum’at antara 17 agustus 2012 dengan 17
agustus 1945. Bukan hanya itu, saat 17 agustus 1945 juga bersamaan dengan
momentum puasa ramadhan. Suatu kebetulan atau memang garis Tuhan yang telah
menetukan.
Sehari
sebelum peringatan 17 agustus, saya kembali ke kampong halaman. Tepatnya 16
agustus, aku kembali ke kampong halaman setelah jenuh dengan seabrek rutinitas
di kota Semarang. Dalam perjalanan kembali ke kampong halaman aku sempat
menghayal, kapan yah aku bisa seperti para perantau yang sangat menunggu
momentum mudik di setiap tahunnya, “mungkin 3-5 tahun lagi setelah aku bisa
menetukan masa depanku sendiri” jawabku dalam hati.
Nuansa pedesaan
begitu sangat kentara ketika aku mulai memasuki gerbang selamat datang desaku.
Tepatnya di tapal batas selamat datang Desa Galih salah satu desa di bagian
kecamatan Gemuh, sekitar 15 KM arah barat daya Kota Kendal. Rasa kangen itu
sedikit terobati dengan deretan rumah serta beberapa gedung sekolah tempat aku
bermain serta menuntut ilmu 12 tahun yang lalu.
Ada satu
hal yang menarik bagiku saat kembali ke kampong halamanku di momentum libur
lebaran tahun ini. Apa itu? Pastinya, bagungan masjid yang sudah lama sekali
malakukan proses renovasi diri, sudah sekitar 5 tahun masjid di desaku dalam
proses renovasi besar-besaran. Dan di tahun ini sudah, terlihat seperti apa
bentuk transformasi terbarunya. Sangat jauh berbeda dengan bentuk awalnya. Tapi hal ini tidak mengurangi
nilai sejarah yang sudah lekekat sejaka awal berdirinya masjid di desaku ini.
Satu lagi
peristiwa kemarin yang membuatku agak tercengang namun juga kagum. Selama
hampir 21 tahun saya lahir ke dunia, dan sudah sekitar 12 tahun yang lalu sejak
saya pertama kali masuk masjid di desaku serta mengikuti sholat jum’at di
masjid desaku “Masjid Nurul Muttaqien”, baru kemarin saat 17 agustus 2012
pertama kalinya saya mendegarkan Khutbah di masjid desaku menggunakan bahasa
Indonesia. Saya sempat berfikir, apakah modernisasi sudah masuk ke desaku ?.
seumur-umur baru kemarin saya mendengarkan khatib jum’at di masjid desaku
menggunakan bahasa indonesai, tidak seperti biasanya menggunakan bahasa jawa
karma. Luar biasa, lalu siapakah sebenarnya sosok khatib yang berkhutbah
kemarain ?.
Beliau
adalah Ustadz Muhaimin, SE yang sering disapa Ustadz Mumu’, salah satu tokoh
muda yang dimiliki desaku. Beliau merupakan Hafidz Alqur’an yang pernah nyantri
di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Sungguh luar biasa ustadz yang
satu ini. Saya juga sempat menempa ilmu dari beliau saat saya masih nyantri si
Pondok Modern Selamat Kendal, waktu beliau juga masih mengajar di sana.
Dalam
khutbahnya kemarin, ustadz mumu menuturkan mengenai realitas internasional yang
baru saja terjadi di Myanmar. Saat saudara kita umat muslim Rohingnya di
Myanmar diusir oleh masyarakat sipil Myanmar, serta adanya perlakuan
diskrimninasi pemerintah Myanmar terhadap kaum muslim Rohingnya. Bukan hanya
perlakuan itu saja, yang lebih parahnya lagi adalah kaum muslim Rohingnya tidak
diakui sebagai warga Negara Myanmar. Sungguh peristiwa yang membuat semua hati
umat islam dipenjuru dunia ikut merasakan betapa pedihnya perasaan yang
dirasakan masyarakat muslim Rohingnya.
Kita
sebagai bangsa Indonesia, yang mayoritas Bergama Islam, patut memberikan
support serta bantuan kepada saudara seiman kita, kaum muslim Rohingnya di
Myanmar. Bagaimana tidak, ini juga bisa menjadi cerminan kita sebagai bangsa
dengan penduduk matoritas beragaman Islam. Sudah baikkah kita memperlakukan
orang yang bukan non-muslim? Sudah baikkah kita terhadap kaum non-muslim?.
Kiranya perlu adanya sikap toleransi yang tinggi bagi umat muslim Indonesia
kepada setiap bentuk perbedaan. Agar saudara kita sesame muslim yang berada di
Myanmar khususnya dan di seluruh penjuru dunia umumnya bisa merasakan perlakuan
yang sama. Tidak ada lagi proses diskriminasi terhadap kaum minoritas oleh kaum
mayoritas.
Ustadz
mumu’ kemarin telah mengetuk pintu hati saya, untuk bisa ikut merasakan
penderitaan kaum muslim Rohingnya di Mtanmar yang terus bertahan. Walaupun
penyampaiannya dengan menggunakan bahasa Indonesia, khutbah beliau tidak
sedikitpun mengurangi kekhusukkan para jama’ah sholat jum’at di masjid desaku
yang sudah terbiasa dengan khutbah dengan menggunakan bahasa jawa karma. Walaupun
ada sedikit pergeseran tradisi khutbah di masjid desaku, namun satu hal yang
menjadi catatan bahwa apapun boleh dilakukukan untuk pengembangan siar Islam,
yang terpenting tidak melukai salah satu golongan maupun masyarakat secara
luas.
Sepeti
kata ibunda Sinta Nuriyah Wahid (Istri Alm. Gusdur), bahwa Kita tidak Butuh
Islam yang ‘Marah’, namun Kita Butuh Islam yang ‘Ramah’.
Bukan
begitu saudara-saudara? Wallahu’ alam bis syowab’. (Ipud)
0 comment:
Post a Comment