1. PEMBANGUNAN ORGANISASIONAL DAN GENDER
Istilah ‘pembangunan organisasional’ merujuk pada kegiatan-kegiatan yang
dimaksudkan untuk mencapai perubahan di dalam tubuh organisasi, dengan sasaran
meningkatkan efisiensi dan efektifitas kerjanya. Sebagai contoh kegiatan
advikasi perempuan serta lobi.
Ikatan maupun kerjasama antar organisasi mendorong pengembangan berbagai
bentuk dan mekanisme pertanggungjawaban. Pembangunan organisasional bertalian
timbal-balik dengan kemampuannya untuk menghasilkan dampak terhadap dunia luas
di manapun ia berkiprah.
Organisasi
Untuk menganalisa organisasi, banyak sekali caranya. Secara umum,
Swieringa dan Wierdsma (1992:10-11) mengidentifikasi empat unsure yang ada di
tiap organisasi, yang menetukan perilakunya :
·
Strategi
Sasaran
organisasi dan cara-cara yang ditempuhnya untuk mencapainya.
·
Struktur
Pengelompokan
dan pembagian tugas, wewenang serta tanggung jawab anggotanya.
·
Sistem
Kesepakatan
yang berkaitan dengan tatacara serta aliran sumberdaya yang ada dalam
organisasi. Baik secara administrasi maupun instruksional.
·
Budaya
Perpaduan
atau penjumlahan pendapat-pendapat perorangan, nilai-nilai yang dianut,
norma-norma yang diikuti oleh para anggotanya.
Selain factor-faktor di atas masih ada factor yang lainnya. Analisis
tentang organisasi yang mengangkat factor-faktor di atas musti memperhitungkan
pertentangan-pertengan di bawah ini :
·
Masa lalu dan masa depan
Bagaimana
sejarah, cita-cita, tujuan dan pandangan organisasi ?
·
Dalam dan luar
Bagaimana
hubungan antara internal organisasi dengan eksternal organisasi :
·
Atas dan bawah
Dinamika
antara tingkatan atas dengan tingkatan bawah, begitupun sebaliknya.
Organisasi
yang Belajar
Perubahan organisasional tergantung kepada proses belajar organisasi itu
(secara kolektif). Artinya suatu organisasi musti bersikap terbuka, bersedia
saling belajar, siap mengembangkan mekanisme-mekanisme belajar organisasi.
Pertama-tama, organisasi harus bersedia merubah. Dan di atas segalanya
ia harus mampu mencerna di dalam dirinya. Kemempuan untuk mengenali dan
memahami kebutuhan akan perubahan bergantung kepada ada atau tidak adanya
tradisi transparansi dan pertanggung jawaban di dalam organisasi itu sendiri.
Dan untuk mengahasilkan perubahan organisasional yang alamiah dan
demokratis, musti tampak adanya anggota organisasi yang harus menyepakati
rumusan tentang masalah-masalah yang ada dan merasa sebagai pemilik sasaran
perubahan untuk mengatasi sebuah masalah.
Selain itu agen-agen berperan untuk membantu organisasi meraih sasaran
yang telah dipilihnya sendiri.
Organisasi
dan Gender
Kenyataan yang masih banyak terjadi adalah pembagian tugas
berdasarkan jenis kelamin di dalam organisasi. Tidak hanya itu, dominansi
laki-laki dalam menetukan sebuah keputusan begitu terlihat.
Dan dari sinilah harus ada sebuah perubahan mengenai budaya patriarki
yang menagakar di organisasi. Sebuah organisasi bisa tergenderkan dalam
sejumlah bidang, misalnya : Ideologi-ideologi dan tujuan-tujuan menyeluruhnya,
Sistem-sistem nilainya, Struktur-strukturnya, Gaya-gaya menajemennnya, Paparan
tugas,Pengaturan praktis, ungkapan kekuasaan dan lambing-lambang yang disunakan
organisasi.
Gender,
Budaya dan Keragaman
Gender berinteraksi dengan seluruh aspek keragaman. Pertentangan antara gender
dengan budaya adalah contoh khas yang bisa kita amati sendiri. Di tingkat
teoritis, anggapan tentang perlawanan terhadap budaya yang sudah mengakar, di
lawan dengan pandangan bahwa kekuasaan itu sendiri terdengarkan. Kaitan-kaitan
antara dominasi kelas dan ras dengan gender di mana-mana.
Yang terpenting adalah membangkitkan kembali posisi perempuan bukan
hanya sebagai partner melainkan rekan kerja yang sama-sama bisa berfikir,
bekerja dan menentukan sebuah keputusan.
2. DINAMIKA GENDER DALAM ORGANISASI-ORGANISASI DONOR
Banyak organisasi anggota Eurostep menilai kinerja keseteraan
gender dalam lembaga masing-masing masih jauh tertinggal disbanding kampanye
penyetaraan gender yang mereka jalankan dalam hubungan dengan para mitra.
Semiloka-semiloka Eurostep terbaru mengangkat ketidakseimbangan ini dan
menyoroti kebutuhan utnuk menenganinya.
Singkat kata, jarak yang harus ditanggulangi di sini bukan hanya antara
kebijakan dengan praktik dalam tubuh lembaga-lembaga donor saja, melainkan juga
kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh para donor dari para mitranya
dengan apa yang diharapkan oleh para mitra iu sendiri.
Wawancara
Secara umum, sikap pengecualian yang
muncul, yaitu ungkapan-ungkapan umum seperi ;sovinisme lelaki’ dan ‘kesenjangan
antara yang ideal dengan yang mungkin diwujudkan dalam kenyataan ‘, hamper
seluruh Kendal yang disebutkan oleh para responden secara eksklusif menyangkut
pekerjaan mereka dengan para mitra.
Kesalahan dari hasil wawancara mengenai topic gender, biasanya adalah
sebagai berikut : ketidaktahuan atau kesalahpahaman tentang apa itu gender,
perlawanan budaya oleh para mitra selatan, dan keengganan para donor si utara
untuk menggugatnya, kesenjangan antara retorika dengan praktik nyata, perubahan
berjalan lamban, masalah perempuan dan kekuasaan.
Dari hal tersebut terlihat jelas, masih perlu adanya pemahaman ulang
mengenai konsepsi gender serta penerapannya dalam masyarakat. Selain itu juga
masalah perempuan dalam kekuasaan yang terkadang masih ada penomorduaan. Karena
dominannya budaya patriarki yang masih tumbuh subur.
Perempuan dan Laki-laki
Pemahaman mengenai posisi laki-laki dalam hubungan-hubungan gender serta
posisi laki-laki dalam struktur serta proses tergenderkan masih perlu untuk
ditingkatkan.
Bagi seorang manajer perempuan, yang mengilhaminya bukanlah
masalah-masalah gender itu sendiri melainkan prosesnya, rasa solidaritas antar
perempuan, dan kepuasan seaktu menjumpai titik-titik aliansi dengan laki-laki
yang peka gender. Masalah-masalah yang lainnya yang sering muncul adalah :
keterkucilan atau isolasi, jarak antara cita-cita dengan kenyataan yang teramat
jauh, kesulitan lantaran berada di podidi sebagai orang yang harus mengemukakan
argument-argumen gender dalam lingkungan kerja yang tidak ramah.
Manajer dan
Staf
Dari kedua kata ini jelas, bahwa ada sebuah reposisi antara keduanya.
Dari keduanya ada yang bertindak sebagai instruktur dan ada yang sebagai
pejalan instruksi. Dari kata-kata ini, muncul sebuah persepsi bahwa organisasi
adalah sebuah satu kesatuan. Mereka
lebih memahami gender dalam kinerja organisasisasional sendiri ketimbang para
pelaksana program atau proyek.
‘Memulangkan’ Gender
Banyak aktifitas gender yang menggebu-gebu di organisasi, namun setelah
pulang ke rumah sama halnya dengan sebelumnya. Terjadi stereotip, subordinasi
dan sebagainya. Karena sekali lagi, kurangnya kepekaan terhadap kesadaran
gender di ranah domestic.
MASALAH-MASALAH GENDER DALAM PEMBANGUNAN KELEMBAGAAN
Ada beberapa permasalahan, diantaranya : Hakikat kekuasaan yang
terdengarkan serta aspek-aspek keragaman yang mengait pada kekuasaan,
Pencapaian positif yang ditandai oleh pelembagaan gender dalam organisasi,
Perlunya memperhitungkan gender sebagai sebuah factor dalam analisis politik
dan ekonomi, lambatnya perubahan dan dorongan kea rah organisasional berbasis
gender, dan lain sebagainya.
Muatan Emosional dalam Perdebatan Gender
Ketika berbicara mengenai gender dalam satu forum antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan dengan kekuatannya mencoba membeberkan semua fakta di
lapangan mengenai apa yang mereka alami dan rasakan. Namun, biasanya laki-laki
mengelihkan pembicaraan dengan sesuatu yang lebih netral. Perempuan masuk ke
dalam rasa emosional yang lebih mendalam ketimbang dengan posisi laki-laki yang
merasa di salahkan.
Kekuasaan, Peran dan Kepribadian
Semua posisi dalam organisasi cenderung menguntungkan lelaki. Selain
dipengaruhi oleh status, peran dan kekuasaan dalam organisasi, cara-cara
mempromosikan kepentingan pribadi maupun kelompok atau berlain-lainan akibat
perbedaan kepribadian.
3. PENGALAMAN-PENGALAMAN GENDER DALAM ORGANISASI
Organisasi
yang Progesif tetapi Didominasi Lelaki
Organisasi yang mengangkat gagasan kesetaraan gender dan ada kerjasama
dengan LSM perempuan, nyatanya organisasi itu sendiri didominasi laki-laki
bukan hanya jumlah lakin-lakinya lebih banyak ketimbang perempuan, namun budaya
organisasionalnya pun didominasi laki-laki. Akar budaya kelembagaannya ada pada
gerakan aktivisme sayap kiri, dan meski dalam program-progamnya ada peranserta
perempuan. Organisasi itu mengadakan sebuah program perempuan, tatapi tidak
berhasil, dan tidak ada pengaruhnya terhadap program-program utamanya.
Secara garis besar memang butuh penanganan secara serius terhadap
kenyataan-kenyataan di lapangan. Agar reposisi perempuan di dalam sebuah
organisasional tidak hanya sebatas penyetaraan posisi, namun lebih jauh lagi
bahwa perempaun dan laki-laki harus bisa setara dalam segala aspek organisasi.
Termasuk setara dalam pengambilan keputusan serta reposisi perempuan dalam
posisi strategis.
4. DUA SISI DARI SATU MATA UANG
Di utara maupun di selatan berusaha mencapai sasaran yang sama, yakni
kesetaraa hak dan kesempatan gabi perempuan dan laki-laki. Namun, jika
menjalani peran sebagai agen perubahan, kami meiliki posisi yang berbeda antara
menjadi agen perubahan di selatan (dimana kehadiran kamu hanya sementara namu
berkuasa disbanding agen perubahan setempat) dengan menjadi agen perubahan di
markas-markas kami sendiri di utara (dimana kehadiran kami lebih mendekati
selamanya dan relative tidak berkuasa, malah mungkin didihkan ke pinggiran,
tanpa bisa mengelakkan hukuman atas intervensi kami). Maka masuk akal bahwa
kami, agen-agen perubahan dari utara ini, merasa lebih mudah dan lebih nyaman
menekan mitra-mitra dari selatan, meminta mereka (dari posisi kami yang lebih
kuat ini) agar mengangkat gender ke dalam kebijakan mereka. Lebih berat dan
lebih menyakitkan bila kami melakukan hal serupa dalam organisasi kami sendiri
(dari posisi pinggiran ini), dimana seandainya pun kami didengarkan meungkin
tidak ada mekanisme-mekanisme yang bisa menjamin dilaksanakannya saran-saran kami
itu.
Faktor-faktor Kunci dalam Peningkatan Kepekaan Gender
dalam Organisasi
Factor-faktor tersebut adalah :
·
Komitmen terhadap kesetaraan gender dan
pembangkitan kepekaan gender
·
Pemahaman dan analisis gender
·
Kesediaan untuk mendengar dan kepekaan
·
Mengabsahkan perdebatan mengenai gender
·
Sadarilah kekuasaan anda sendiri
·
Motor perubahan adalah dialog bukan
konfrontasi
·
Komunikasi transparan
·
Mengubah sikap
·
Agen perubahan
·
Laki-laki dan perempuan
·
Menjalin persekutuan
·
Pengaliran sumberdaya
·
Kesabaran, realism dan keluwesan
·
Tolok ukur keberhasilan dan kegagalan
5. MEMBAYANGKAN ORGANISASI PEKA GENDER
Proses
pemberdayaan yang menurut hemat kami dapat dipertimbangkan untuk
diterapkan dalam memajukan eksistensi organisasi perempuan
adalah apa yang dikemukakan banyak pakar, bahwa setidaknya ada
tiga aspek yang memerlukan sentuhan atau penanganan serius
agar perempuan dapat diberdayakan. Pertama, apa yang disebut dengan
capacity building (membangun kemampuan perempuan). Kedua, cultural
change (perubahan budaya yang memihak
perempuan). Ketiga, structural adjusment (penyesuaian struktur yang memihak perempuan). Demikian
juga Model analisis Longwe yang dikembangkan Sarah H. Longwe,
sering disebut sebagai konsep “Kriteria Pembangunan Perempuan”
bersifat sistemik dan terdiri lima kriteria:
1)
Dimensi
Kesejahteraan, yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar
seperti makanan, penghasilan, kesehatan , perumahan yang harus
dinikmati oleh laki-laki dan perempuan. Kesenjangan gender dapat
dilihat dari sejauhmana kondisi objektif yg dialami perempuan
dalam hal penghasilan , tingkat kematian, kesehatan dan
gizi.
2)
Dimensi
Akses, kesenjangan gender dalam dimensi ini terlihat dari adanya
perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya.
Lebih rendahnya akses perempuan terhadap sumberdaya
mengakibatkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah.
Selain itu perempuan dengan peran domistiknya tidak punya
cukup waktu untuk mening katkan dirinya, dengan kurangnya akses
berarti tidak adanya keadilan untuk tumbuh bersama.
3)
Dimensi
Kesadaran Kritis, kesenjangan gender pada level ini disebabkan
adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi perempuan yang
lebih rendah dari laki-laki dan pembagian gender tradisional
merupakan bagian tatanan abadi. Pemberdayaan pada tingkat ini
harus menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara
pandang tersebut diatas. Bahwa subordinasi terhadap perempuan
bukanlah alamiah, tapi hasil diskriminasi dari tatanan sosial
yang berlaku. Pemberdayaan ini melalui proses penyadaran baik
pada perempuan maupun pihak yang terkait.
4)
Dimensi
Partisipasi, kesenjangan pada tingkat ini dari kenyataan tidak terwakilinya kelompok bawah (perempuan)
dalam berbagaim lembaga yang ada di masyarakat, sehingga tidak terlibat dalam
pengambilan keputusan di semua tingkatan.Gap ini dapat di lihat seberapa besar
partisipasi perempuan di lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif, organisasi
politik, tingkat program dan organisasi massa lainnya. Pemberdayaan pada level
ini adalah upaya pengorganisasian, sehingga semua komponen dapat berperan
serta dalam setiap proses pengambilan keputusan , sehingga
kepentingan perempuan tidak terabaikan.
5)
Dimensi
Kuasa, kesenjangan di tingkat ini tampak dalam kelompok
penguasa dan yang dikuasai. Ada bagian kelompok yang menguasai
segala macam sumberdaya, sementara bagian lain tidak. Pemberdayaan
pada tingkat ini upaya untuk menguatkan kelompok yang lemah
sehingga mampu mengimbangi kekuasaan kelompok atas dan mampu
mewujudkan aspirasi mereka, karena mereka ikut dalam memegang
kendali atas sumberdaya yang ada. Kesetaraan
dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan
gender dan pemberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera.
Akhirnya,
apapun struktrur yang dipilih, dan apapun pola perilaku yang dicita-citakan, tidak
ada pengganti bagi penyuntikan kepedulian eksplisit terhadap kesetaraan gender,
dan kepemimpinan atau visi yang tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan perempuan.
6. PETA GENDER DAN PERUBAHAN ORGANISASI
Tahap-tahap Dalam Proses Perubahan
Secara garis besar ada beberapa tahapan
dari proses perubahan suatu organisasi, sebagai contohnya saya rangkumkan dari
hasil pembacaan, sebagai contoh :
1)
Karena
ada tekanan & desakkan, dimana yang dimaksud di sini adalah, tekanan &
desakkan dari pihak luar atau dalam untuk mengembangkan suatu organisasi agar
mau berkembang dan berjalan lebih maksimal.
2)
Interfrensi
& Reorientasi biasanya melibatkan orang lain untuk mengelola, dimana
dibutuhkan pengenalan kembali agar mengingatkan apa yang telah dicapai dan apa
yang masih harus menjadi misi untuk mencapai visi suatu organisasi tersebut.
3)
Diagnosa
& Pengenalan masalah, dimana di sini berusaha ditemukan, apa yang menjadi
sebab, dana mengakibatkan apa, serta bagaimana cara Organisasi tersebut
memecahkan suatu masalah dengan baik.
4) Penemuan & Komitmen dari penyelesaian, setelah menemukan suatu
hal yang baru terhadapa penyelesaiaan masalah, maka akan didaptkan komitmen
baru, dimana harus dijalankan, agar seseuatu kegagalan di masa lampau tidak
terulangi lagi di masa depannya.
5) Percobaan & penerimaan hasil, dimana setelah kita melakukan
percobaan suatu yang baru, kitapun harus dapat menerima hasilnya, dan
mereview kembali agar kita mengetahui dimana cacatnya suatu cara tersebut
dan memodifikasi kembali agar perubahan itu menjadi lebih baik dan sesuai dengan
yang diharapkan.
7. BUDAYA ORGANISASI, AGEN PERUBAHAN, DAN GENDER
Unsur-unsur budaya tidak akan nampak dalam perilaku
keseharian dalam berinteraksi di sekolah misalnya melalui interaksi yang
menghambat atau mempromosi keadilan dan kesetaraan gender. Wujud budaya dalam
interaksi praktis dapat diamati melalui empat lapisan budaya
kelembagaan/sekolah, yang diilustrasikan sebagai : bawang hofstede.
Lapisan 1 :
Simbol-simbol dan artifak-artifak adalah : kata-kata (bahasa), gambar-gambar,
atau obyek-obyek yang bermakna secara khusus bagi warga sekolah perempuan
dan laki-laki.
Lapis 2 :
Para pejuang, pahlawan, pemimpin perempuan dan laki-laki yang nyata memiliki
sifat-sifat yang sangat dihargai oleh warga sekolah perempuan dan
laki-laki, dan mereka mempersonifikasikannya.
Lapis 3 :
ritual adalah aktivitas-aktivitas kolektif yang tidak secara jelas diperlukan
dalam merealisasi sasarn-sasaran organisasi tetapi dianggap penting secara
sosial. Ritual adalah praktek-praktek yang melambangkan bagaimana waarga
sekolah perempuan dan laki-laki berinteraksi sosial.
Lapis 4 :
Nilai-nilai yang dianut oleh warga sekolah peempuan dan laki-laki dalam
melakukan aktivitas tertentu dengan cara tertentu.
Analisis budaya adalah analisis situasi umum,
perilaku dominan dan kebiasaan yang diterima dan dianggap wajar yang membentuk
pola relasi antar warga sekolah perempuan maupun laki-laki dan etos kerja
sekolah. Budaya sekolah yang responsif gender meliputi:
1)
Ekspresi verbal dapat ditemukan pada ungkapan
kata-kata yang dapat menciptakan kebiasaan baik yang menghargai dan menghormati
laki-laki maupun perempuan dalam lingkungan sekolah.
2)
Ekspresi non-verbal dalam ragam bentuk seperti
sikap perilaku, ekspresi tubuh, simbol-simbol yang mendukung dan memotivasi
seseorang untuk memberikan apresiasi pada warga sekolah baik laki-laki maupun
perempuan.
3)
Lingkungan internal dan ekternal yang kondusif
untuk laki-laki dan perempuan dalam beraktifitas di lingkungan sekolah, untuk
mendukung tercapainya sekolah efektif.
4)
Kultur birokrasi yang dibangun bersifat egaliter,
bersahabat, demokratis, akomodatif dan toleran
8. STATEGI PENGEMBANGAN PRAKTIK PEKA-GENDER
Strategi-strategi Spesifik
·
Meninjau kembali pernyataan misi dan
sasaran-sasaran kelembagaan
·
Analisis tentang semua pihak terjait
·
Perencanaan strategis
·
Pelatihan
·
Pengalokasian anggaran
·
Menetapkan sasaran-sasaran keseimbangan
gender
·
Mengubah criteria dan tatacara rekrutmen
pekerja baru
·
Rekonstruksi bidang-bidang untuk menyatukan
gender dalam arus utama.
·
Menunjuk penanggung jawab gender
·
Menjadikan tempat kerja dan gaya kerja
lebih ramah kepada perempuan
·
Menyususn dan menerapkan
mekanisme-mekanisme pemantauan dan evaluasi.
·
Menarik komitmen manajemen puncak untuk
melaksanakan perubahan menuju kesetaraan gender.
9. MENGUKUR KEMAJUAN
Pandaun Penilaian Kemajuan Proses Perubahan
·
Fokus kepada gender
·
Analisis gender
·
Kesetaraan gender
Penggunaan
kuisioner sebaga alat mengukur kemajuan proses perubahan dan komitmen bersama
mengenai kesetaraan gender. Kemudian mengetahui unsure pokok organisasi. Selanjutnya
mengetahui dan menganalisis struktur, system dan sumberdaya (proses dan
prosedur organisasional).
Jarak antara laki-laki dan perempuan memang tidak bisa dipisahkan dengan
budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat kita. Hal ini juga berefek
samping dalam jarak yang ada dalam organisai. Maka harus ada upaya untuk
menjembatani jarak antara laki-laki dan perempuan. Dan diharapkan nantinya
jarak antara laki-laki dan perempuan dalam sebaga aspek baik di ranah punlik
maupun domestic bisa berkurang atau bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Pada
pembahasan ini khususnya dalam sebuah organisasi. Dalam organisasipun demikian.
Harus ada pembagian kerja yang jelas, tidak membedakan jenis kelamin. Yang
menjadi patokan adalah kemampuan. Dan bukan lagi perempuan sebagai pemanis
organisasi, namun menjai rekan serta bagian dalam menetukan sebuah keputusan.
0 comment:
Post a Comment